MENILAI SUATU
HUKUM SYARIAT TAK SEKEDAR DENGAN HADITSNYA TIDAK SHAHIH
Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah yang benar,
khususnya lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim bahwa sebuah
hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik kesimpulan bahwa
sebuah perbuatan itu bid'ah. Mengapa?
Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih tidaknya suatu
hadits itu sendiri cuma hasil 'rekayasa' manusia biasa. Keshahihan suatu hadits
itu bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi Muhammad SAW. Beliau SAW
tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Malaikat
Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih tidaknya suatu hadits.
Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang boleh dan
berhak menentukan keshahihan suatu hadits?
Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam hal ini
sering disebut sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang ketika
memfatwakan suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan
semata-mata menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata
merupakan hasil ijtihad akal semata.
Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan suatu hadits
agak jarang disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering terjadi adalah
suatu hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada sekian muhaddits
lain tidak menshahihkan.
Begitu juga sebaliknya, satu hadits dianggap dhaif oleh
satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan muhaddits menshahihkannya.
Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan dengan agama
Islam, wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar jangan sampai
malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan menampakkan
kekosongan ilmu agama.
ULAMA SYARIAH SANGAT MENGERTI HADITS
Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits yang paling
tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim. melainkan para
ulama empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam
Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari
Bukhari dan Muslim?
Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan sebatas
mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari
itu, mereka juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa
diterapkan untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya
bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya.
Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa.
Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa.
Wallahu a’lam
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar