iklan banner

Sabtu, 26 November 2016

DALIL MAULID NABI (03)

DALIL MAULID 03 :
Pemaparan Kisah Rasul adalah Peneguh Iman dalam Hati.

Allah Yang Maha Tinggi berfirman :

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Hud [11] : 120)


Dan sini tampák bahwa hikmah pemaparan kisah para Nabi alaihis sallam adalah untuk meneguhkan hati beliau yang mulia. Dan tak diragukan làgi bahwa sekarang kita lebih membutuhkan peneguhan hati dengan kisah Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam, lebih dari beliau sendiri. 

Kamis, 24 November 2016

DALIL MAULUD NABI (02)

 DALIL MAULUD NABI (02)
ALLAH SWT. MEMERINTAHKAN UNTUK BERGEMBIRA ATAS KELAHIRAN NABI SAW.

Kegembiraan karena hadirnya beliau saw. adalah suatu yang diperintahkan oleh Alqur’an, Allah Yang Maha Tinggi berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “ Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".”. (Q.S. Yunus [10] : 58)

Allah Yang Maha Tinggi menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi saw.adalah rahmat Allah yang paling agung. Allah berfirman:

Hal ini diperkuat oleh penafsiran dan seorang yang paling luas ilmunya diantara umat ini dan penerjemah (ahli tafsir) Alqur’an, yakni Al-Imam Ibnu Abbas ra tentang ayat ke-58 Surat Yunus tersebut diatas. Ia berkata: “Yang dimaksud dengan kurnia Allah adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan rahmat-Nya’ ialah Muhammad saw. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
‘Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al Anbiya [21] : 107

Maka kegembiraan karena Rasülullâh saw. dianjurkan pada setiap waktu, dalam setiap nikmat, dan pada setiap kurnia. Akan tetapi lebih dianjurkan pada setiap Hari Senin dan setiap Bulan Rabi’ul Awwal, karena kuatnya suasana Maulid dan memperhatikan waktu. Dan telah maklum bahwa tidaklah lalai dari peringatan itu dan berpaling dari peringatan tersebut pada waktunya kecuali orang yang lalai lagi dungu.

Penghormatan kepada beliau saw. adalah sesuatu yang disyari’atkan dan bergembira dengan hari kelahiran beliau yang mulia dengan menampakkan kegembiraan dan membuat acara jamuan dan perkumpulan majlis zikir serta memuliakanorang-orang fakir termasuk sebagian dan perwujudan yang paling agung dan rasa penghormatan, kebahagiaan, kegembiraan, dan syukur kepada Allah atas petunjuk-Nya kepada Agama yang Lurus yang telah diberikan kepada kita, dan atas kurnia-Nya kepada kita yaitu diutusnya Nabi Muhammad saw.


Senin, 21 November 2016

BERJAMAAH DENGAN MAKMUM SATU ORANG

BERJAMAAH DENGAN MAKMUM SATU ORANG

Bila jamaah shalat hanya terdiri dari seorang imam dan seorang makmum, maka posisi makmum di sebelah kanan imam. Namun lebih afdhalnya sedikit di belakang, untuk menghindari kemungkinan posisi makmum melewati posisi imam.

HADITS 01 : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:

‏بِتٌّ عند خَالَتِيْ ميمونةَ فقام النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يصلِّي من الليلِ فقمتُ أُصَلِّيْ معه فقمت عن يسارهِ فأخذَ بِرَأْسِيْ وَأَقَامَنِيْ عن يَّمِيْنِهِ

Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. (HR. Bukhari 726, Muslim 763).


HADITS 02 : hadits Jabir :

قام رَسُولُ اَللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ليصلِّي فَجِئْتُ فقمتُ على يسارهِ فأخذَ بيدى فأدارني حتى أَقَامَنِيْ عن يَّمِيْنِهِ ثم جاء جابر بن صخر فقام عن يسارهِ رَسُولُ اَللَّهِصلى اللَّه عليه وآله وسلم فأخذ بأيدينا جميعا فذفعنا حتى أَقَامَنَا خلفهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri shalat, kemudian aku datang, lalu aku berdiri disebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku, lantas ia memutarkan aku sehingga ia menempatkan aku sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau memegang tangan kami dan beliau mendorong kami sehingga beliau mendirikan kami dibelakangnya”. [Shahih Riwayat Muslim & Abu Dawud]

PENJELASAN FUQOHA (ULAMA AHLI FIQIH)

1. IMAM SYAFI’I dalam kitab Al-Umm berkata :

وإذا أم رجل رجلا واحدا أقام الإمام المأموم عن يمينه وإذا أم خنثى مشكلا أو امرأة قام كل واحد منهما خلفه لا بحذائه وإذا أم رجل رجلا فوقف المأموم عن يسار الإمام أو خلفه كرهت ذلك لهما ولا إعادة على واحد منهما وأجزأت صلاته

Apabila seorang laki-laki mengimami seorang laki-laki, maka imam itu hendaknya memerintahkan makmum berdiri pada sisi kanannya.

Apabila seorang laki-laki mengimami seorang banci atau seorang wanita, maka masing-masing dari keduanya berdiri di belakang imam dan tidak sejajar dengan imam.

Apabila seorang laki-laki mengimami seorang laki-laki, lalu makmum itu berdiri di sebelah kiri imam atau di belakangnya, maka saya memandangnya makruh. Namun apabila ia melakukannya, maka ia tidak harus mengulangi dan shalatnya telah memadai.
[Al-Umm 1, 248, Rongkasan Kitab Al-Umm 1, hal.241]

2. IBNU RUSYD dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :

وسنة الواحد عند الجمهور أن يقف عن يمين الإمام لحديث ابن عباس حين بات عند ميمونة. وقال قوم: بل عن يساره، ولا خلاف في أن المرأة الواحدة تصلي خلف الإمام، وأنها إن كانت مع الرجل صلى الرجل إلى جانب الإمام والمرأة خلفه

Untuk makmum yang hanya seorang disunatkan di sebelah kanan agak ke belakang. Ini menurut jumhur fuqaha. Alasannya adalah hadits Ibnu Abbas, tatkala ia menginap di rumah Maimunah. Tetapi menurut sebagian fuqaha disunatkan berdiri di sebelah kiri agak ke belakang.

Tentang wanita yang menjadi makmum sendirian, ia berdiri di belakang imam laki-laki. Masalah ini sudah tidak diperdebatkan lagi. Apabila seseorang wanita berjamaah dengan seorang laki-laki, maka makmum laki-laki-laki tadi berdiri di sebelah kanan imam dan seorang wanita berdiri di belakang makmum laki-laki.  [Bidayatul Mujtahid 1, ha. 334].

3. ZAINUDIN BIN ABDUL AZIZ AL-MALIBARI AL-FANANI berkata dalam kitab Fathul Mu’in :

(وندب وقوف ذكر) ولو صبيا لم يحضر غيره، (عن يمين الامام) وإلا سن له تحويله - للاتباع - (متأخر) عنه (قليلا)، بأن تتأخر أصابعه عن عقب إمامه. وخرج بالذكر الانثى، فتقف خلفه، مع مزيد تأخر

Makmum laki-laki disunatkan berdiri di sebelah kanan imam, walaupun makmum itu anak-anak, kalaupun tidak terdapat makmum orang dewasa. Kalau tidak demikian disunatkan kepada imam (meskipun sedang salat) mengalihkan makmum kea rah kanannya, karena ittiba’ kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ke belakang sedikit dengan cara jari kaki makmum mundur sedikit dari tumit imamnya. Kecuali bagi wanita, ia mesti berdiri di belakang imam dengan sedikit mundur (walaupun sendirian).

(فإن جاء) ذكر (آخر، أحرم عن يساره)، ويتأخر قليلا، (ثم) بعد إحرامه (تأخرا) عنه ندبا، في قيام أو ركوع، حتى يصيرا صفا وراءه

Apabila datang laki-laki yang lainnya, bertakbiratul ihramlah ia di sebelah kiri imam dan mundur sedikit, kemudian setelah takbiratul ihram itu kedua-duanya sunat mundur ke belakang, di kala imam berdiri atau rukuk, sehingga membentuk barisan di belakang imam. Sebagaimana hadits dari Jabir.

 (و) وقوف (رجلين) جاءا معا (أو رجال) قصدوا الاقتداء بمصل (خلفه) صفا

Kebalikan dari cara itu ialah : Jika makmum yang di sebelah kanan imam itu mundur sebelum makmum yang kedua takbiratul ihram, atau kedua-duanya tidak mundur, atau mundur bukan di kala imam berdiri atau rukuk, hukumnya makruh dan dapat menghilangkan pahala berjamaah. Kecuali kalau imam yang maju, maka hukumnya diperbolehkan.
[Fathul Mu’in 1, hal. 382-384].


Wallahu a’lam

Minggu, 20 November 2016

DALIL MAULID NABI 01

DALIL MAULID NABI 01 : RASULALLAH SHOLLALLOHU ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATI HARI KELAHIRAN BELIAU.

Memperingati hari kelahirannya, Rosulullah shollallohu alaihi wassalam mengungkapkan pengagungan itu dengan cara menunjukkan rasa syukur dan kegembiraan atas kelahiran beliau.

Sebagaimana diriwayatkan daiam sebuah hadits dari Abi Qatadah:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

beliau ditanya mengenai puasa pada hari senin, beliau menjawab: "Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku." (H.R. Al-Imam Muslim 1977dalam Sahihnya pada Bab Puasa).

Sebenarnya yang pertama merayakan atau memperingati maulid itu adalah orang yang kita peringati maulid (kelahiran) nya yaitu Nabi Muhammad saw sendiri. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih riwayat Imam Muslim tersebut. Ini merupakan nash (dalil) yang paling sahih dan paling jelas tentang peringatan maulid Nabi yang mulia.


Dan ini adalah semakna dengan perayaan maulid Nabi hanya saja bentuknya berbeda. Bisa berupa puasa atau memberi jamuan makan atau berkumpul untuk berzikir (mengingat Allah) atau bershalawat atas Nabi saw. atau mendengar sifat-sifat beliau yang mulia. 

Wallahu a'lam


Rabu, 16 November 2016

TINGKATAN NAFSU DAN CARA MENJINAKANNYA.

TINGKATAN NAFSU DAN CARA MENJINAKANNYA.

Nafsu yang bersemayam di jiwa manusia ada tiga tingkatan
– Ammaroh.
– Lawwamah.
– Muthmainnah.

Nafsu yang pertama muncul dalam jiwa manusia adalah NAFSU AMMAROH, yakni nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan dan mencegah dari kebaikan.

Apabila manusia bermujahadah, sabar dan menentang ajakan nafsu ammaroh, maka nafsu itu akan berubah menjadi NAFSU LAWWAMAH, yakni nafsu yang terkadang condong kepada muthmainnah dan terkadang condong kepada ammaroh.

Apabila nafsu ini dibimbing dengan lemah lembut dengan tali kekang yang berupa janji-janji baik dari Allah swt maka akan berubah menjadi NAFSU MUTHMAINAH, yakni nafsu yang selalu mengajak kepada kebaikan dan merasa nikmat ketika mengerjakan kebaikan.

Karena itu janganlah kita menjadi budak nafsu yang selalu mengikuti ajakannya. Imam Bushiri berkata di dalam qosidah burdah:

فلا ترم بالمعاصي كسر شهوتهــــــــــا إن الطعام يقوي شهوة النَّهـــــــــم
Jangan kamu bermaksud melakukan kemaksiatan untuk memecah syahwat…

والنفس كالطفل إن تهمله شب على
حب الرضاع وإن تفطمه ينفطم
Nafsu itu seperti anak kecil yang suka menetek kepada ibunya…
Apabila anak kecil itu kamu abaikan maka dia akan selalu suka netek kepada ibunya meski telah tumbuh besar, dan apabila kamu sapih maka tersapihlah.

( Adabus-sulukil murid hal.34-35 )


Selasa, 15 November 2016

HADITSNYA TIDAK SHAHIH ???


MENILAI SUATU HUKUM SYARIAT TAK SEKEDAR DENGAN HADITSNYA TIDAK SHAHIH

Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah yang benar, khususnya lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim bahwa sebuah hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik kesimpulan bahwa sebuah perbuatan itu bid'ah. Mengapa?

Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih tidaknya suatu hadits itu sendiri cuma hasil 'rekayasa' manusia biasa. Keshahihan suatu hadits itu bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi Muhammad SAW. Beliau SAW tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Malaikat Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih tidaknya suatu hadits.

Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang boleh dan berhak menentukan keshahihan suatu hadits?

Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam hal ini sering disebut sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang ketika memfatwakan suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan semata-mata menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata merupakan hasil ijtihad akal semata.

Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan suatu hadits agak jarang disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering terjadi adalah suatu hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada sekian muhaddits lain tidak menshahihkan.

Begitu juga sebaliknya, satu hadits dianggap dhaif oleh satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan muhaddits menshahihkannya.

Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan dengan agama Islam, wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar jangan sampai malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan menampakkan kekosongan ilmu agama.

ULAMA SYARIAH SANGAT MENGERTI HADITS

Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits yang paling tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim. melainkan para ulama empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah

Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari Bukhari dan Muslim? 

Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan sebatas mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari itu, mereka juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa diterapkan untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya.

Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa. 

Wallahu a’lam

Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA

HIZB NAWAWI

 HIZB NAWAWI

SYAIKH MUKHYIDDIN ZAKARIYYA YAHYA ANNAWAWI
Moga-moga Allah merahmatinya [Rahimahu Allahu Ta’ala]


بِسْمِ اللَّهِ اَلله أَكْبَرُ, أَقُولُ عَلَى نَفْسِى وَعَلَى دِيْنِى وَعَلَى أَهْلِى وَعَلَى أَوْلاَدِى وَعَلَى مَالِى وَعَلَى أَصْحَابِى وَعَلَى أَدْيَانِهِمْ وَعَلَى أَمْوَالِهِمْ أَلْفَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
BISMILLAAHI ALLOO-HU AKBAR AQUULU ‘ALAA NAFSII WA ‘ALAA DIINII WA’ALAA AHLII, WA’ALAA AULAADII, WA’ALAA MAALII, WA’ALAA ASH-KHAABII, WA’ALAA ADYAANIHIM, WA’ALAA AMWALIHIM, ALFA LAA KHAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADLIIM. 

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Dengan menyebut nama Allah; Allah Maha Besar. Aku berkata atas diriku, agamaku, keluargaku, anak-anakku, hartaku, dan sahabat-sahabatku beserta agama mereka dan harta benda mereka, seribu ‘laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adliim’ (Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

بِسْمِ اللَّهِ, اَللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ, أَقُوْلُ عَلَى نَفْسِى وَعَلَى دِيْنِىْ وَعَلَى أَهْلِى وَعَلَى أَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِى وَعَلَى أَصْحَابِى وَعَلَى أَدْيَانِهِمْ وَعَلَى أَمْوَالِهِمْ أَلْفَ أَلْفِ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
BISMILLAAHI ALLOOHU AKBAR, ALLOOHU AKBAR, AQUULU ‘ALAA NAFSII WA’ALAA DIINII WA’ALAA AHLII, WA’ALAA AULAADII, WA’ALAA MAALII, WA’ALAA ASH-KHAABII, WA’ALAA ADYAANIHIM, WA’ALAA AMWAALIHIM ALFA ALFI LAA KHAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADLIIM. 

Dengan menyebut nama Allah; Allah Maha Besar; Allah Maha Besar. Aku berkata atas diriku, agamaku, keluargaku, anak-anakku, hartaku, dan sahabat-sahabatku beserta agama mereka dan harta benda mereka, sejuta ‘laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyilaDLiim’. 

بِسْمِ اللَّهِ اَللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ, أَقُوْلُ عَلَى نَفْسِى وَعَلَى دِيْنِىْ وَعَلَى أَهْلِى وَعَلَى أَوْلاَدِيْ وَعَلَى مَالِى وَعَلَى أَصْحَابِى وَعَلَى أَدْيَانِهِمْ وَعَلَى أَمْوَالِهِمْ أَلْفَ أَلْفِ أَلْفِ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
BISMILLAAHI ALLOOHU AKBAR, ALLOOHU AKBAR, ALLOOHU AKBAR, AQUULU ‘ALAA NAFSII WA’ALAA DIINII WA’ALAA AHLII, WA’ALAA AULAADII, WA’ALAA MAALII, WA’ALAA ASH-KHAABII, WA’ALAA ADYAANIHIM, WA’ALAA AMWAALIHIM ALFA ALFI  ALFI LAA KHAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADLIIM. 

Dengan menyebut nama Allah; Allah Maha Besar; Allah Maha Besar; Allah Maha Besar. Aku berkata atas diriku, agamaku, keluargaku, anak-anakku, hartaku, dan sahabat-sahabatku beserta agama mereka dan harta benda mereka, semilyar LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYILADLIIM’. 

بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللهِ وَمِنَ اللَّهِ وَإلَى اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ وَفِى اللَّهِ وَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
BISMILLAAHI, WAMINALLOOHI, WA ILALOOHI, WA’ALALLOOHI, WAFILLAAHI, WA LAA KHAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADLIIM.

Dengan menyebut nama Allah; dengan Allah; dari Allah; kepada Allah; atas Allah; dan didalam Allah; serta tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

بِسْمِ اللَّهِ عَلَى دِيْنِى وَعَلَى نَفْسِى, بِسْمِ اللَّهِ عَلَى مَالِى وَعَلَى أَهْلِى وَعَلَى أَوْلاَدِى وَعَلَى أَصْحَابِى. بِسْمِ اللَّهِ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ أَعْطَانِيْهِ رَبِّى.
BISMILLAAHI  ‘ALAA DIINII WA’ALAA NAFSII. BISMILLAAHI ’ALAA MAALII WA’ALAA AHLII, WA’ALAA AULAADII, WA ’ALAA ASH-HAABII. BISMILLAAHI ‘ALAA KULLI SYAI-IN A’THOONIIHI ROBBII.

Dengan menyebut nama Allah atas agamaku dan diriku. Dengan menyebut nama Allah atas harta bendaku, keluargaku, anak-anakku dan para saha-batku. Dengan menyebut nama Allah atas segala sesuatu yang diberikan Tuhanku kepadaku.

بِسْمِ اللَّهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ, وَ رَبِّ اْلأَرَضِيْنَ السَّبْعِ, وَ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ,
BISMILLAAHI ROBBIS SAMAAWAATIS SAB’I, WA ROBBIL ARDHIINAS SAB’I, WAROBBIL ‘ARSYIL ‘ADLIIM.

Dengan menyebut nama Allah, Tuhan Penguasa langit tujuh lapis, Tuhan Penguasa bumi lapis tujuh, Tuhan Penguasa ‘arasy yang agung.

بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي اْلأَ رْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ  وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (3×).
BISMILLAAHIL-LADZII LAA YADHURRU MA’ASMIHII SYAI-UN FIL ARDHI WALAA FIS SAMAA-I WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIIM (DIBACA 3 X).

Dengan menyebut nama Allah Yang tidak akan berbahaya bersama Nama-Nya sesuatu pun di bumi dan tidak pula di langit. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

بِسْمِ اللهِ خَيْرِ اْلأَسْمَاءِ فِي اْلأَ رْضِ وَفِى السَّمَاءِ,
BISMILLAAHI KHOIRIL ASMAA-I FIL ARDHI WAFIS SAMAA-I.

Dengan menyebut nama Allah, sebaik-baik Asma’ di bumi dan di langit.

بِسْمِ الله أَفْتَتِحُ وَبِهِ أَخْتَتِمُ,
اللّهُ اللّهُ اللّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكَ بِهِ أَحَدًا,
اللّهُ اللّهُ اللّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ  هُوَ.
BISMILLAAHI AFTATIKHU WABIHII AKHTATIMU.
ALLOOH, ALLOOH, ALLOOH, RABBII LAA USYRIKU BIHII AKHADAN. ALLOOH, ALLOOH, ALLOOH, LAA ILAAHA ILLAA HUU.
 Dengan menyebut nama Allah aku memulai, dan Dengan menyebut nama Allah aku mengakhiri. Allah, Allah, Allah, Tuhanku, tiada sekutu bagi-Nya. Allah, Allah, Allah, tiada tuhan selain Dia.

اللّهُ اللّهُ,اللّهُ أَعَزُّ وَأَجَلُّ وَأَكْبَرُ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ (3×).
ALLOOH, ALLOOH, ALLOOH, A’AZZU WA AJALLU WA AKBARU MIMMAA AKHOOFU WA AHDZAR (3 X).

Allah, Allah, Allah,Yang Maha Mulia, Maha Agung dan Maha Besar dari apa saja yang aku takuti dan aku khawatiri.

اللّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِى, وَ مِنْ شَرِّ غَيْرِى, مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ رَبِّى,
ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN SYARRI NAFSII, WA MIN SYARRI GHAIRII, MIN SYARRI MAA KHALAQA RABBII,

Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan diriku, keburukan selainku, keburukan apa saja yang diciptakan Tuhanku.

بِكَ اللّهُمَّ أَخْتَرِزُ مِنْهُمْ, وَ بِكَ اللّهُمَّ أَدْرَأُ فِى نُحُورِهِمْ, وَ بِكَ اللّهُمَّ َأَعُوذُ مِنْ شُرُورِهِمْ وَأَسْتَكْفِيْكَ إيَِّاهُمْ , وَاُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيِّ وَأَيْدِيْهِمْ وَأَيْدِي مَنْ أَحَاطَتْهُ عِنَايَتِى وَشَمِلَتْهُ إِحَاطَتِى.
BIKALLOOHUMMA AHTARIZU MIN-HUM, WABI-KALLOOHUMMA ADRO-U FII NUKHUURIHIM, WABIKALLOO-HUMMA A’UUDZU MIN SYURUURIHIM, WA ASTAKFIIKA IYYAAHUM, WA UQADDIMU BAINA YADAYYA WA AIDIIHIM WA AIDI MAN AHAATHOT-HU ‘INAAYATII, WA SYAMILAT-HU IKHAATHOTII.

Dengan-Mu, Ya Allah, aku memohon perlindungan dari mereka. Dengan-Mu, Ya Allah, aku menolak  pada leher mereka. Dengan-Mu, Ya Allah, aku berlindung dari kejahatan mereka, aku memohon kiranya Engkau mengatasi mereka, aku haturkan di hadapanku, di hadapan mereka, di hadapan orang yang diliputi oleh pertolonganku.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ. (3×).
BISMILLAAHIR-ROKHMAANIR-RAKHIIM. QUL HUWALLOOHU AHAD, ALLOOHUS-SHOMAD, LAM YALID WALAM YUULAD, WALAM YAKUN LAHUU KUFUWAN AHAD (DIBACA 3 X).

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS al-Ikhlash : 1-4).

وَمِثْلُ ذَلِكَ عَنْ يَمِيْنِى وَأَيْمَانِهِمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ عَنْ شِمَالِى وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ أَمَامِى وَأَمَامَهُمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ خَلْفِى وَمِنْ خَلْفِهِمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ فَوْقِى وَمِنْ فَوْقِهِمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنْ تَحْتِى وَ مِنْ تَحْتِهِمْ, وَمِثْلُ ذَلِكَ محُِيْطٌ بِى وَبِهِمْ, وَبِمَا أَحَطْنَابِهِ.
WAMITSLU DZAALIKA ‘AN YAMIINII WA AIMAANIHIM, WAMITSLU DZAALIKA ‘AN SYIMAALII WA ‘AN SYAMAA-ILIHIM, WAMITSLU DZAALIKA AMAAMII WA AMAA-MAHUM, WAMITSLU DZAALIKA MIN KHOLFII WAMIN KHOLFIHIM, WAMITSLU DZAALIKA MIN FAUQII WAMIN FAUQIHIM, WAMITSLU DZAALIKA MIN TAHTII WAMIN TAHTIHIM, WAMITSLU DZAALIKA MUHIITHUN BII WA BIHIM, WABIMAA AKHATH-NAA BIH.   

Dan seperti itu dari arah kananku dan kanan mereka; seperti itu dari arah kiriku dan kiri mereka; seperti itu dari arah depanku dan depan mereka; seperti itu dari arah belakangku dan belakang mereka; seperti itu dari arah atasku dan atas mereka;   seperti itu dari arah bawahku dan bawah mereka. Dan seperti itu yang akrab denganku, dengan mereka, dan dengan apa saja yang aku akrab dengannya.

اللّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ لِى وَلَهُمْ مِنْ خَيْرِكَ بِخَيْرِكَ الَّذِى لاَ يَمْلِكُهُ غَيْرُكَ,
ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKA LII WALAHUM MIN KHOIRIKA BIKHOIRIKALLADZII LAA YAMLIKUHUU GHOIRUK.

Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu, untukku dan untuk mereka, kebaikan-Mu dengan kebaikan-Mu yang tiada mampu melikinya selain Engkau.

اللّهُمَّ اجْعَلْنِى وَ إيَّاهُمْ فِى حِفْظِكَ وَعِيَاذِكَ وَعِيَالِكَ وَجِوَارِكَ وَأَمْنِكَ وَأَمَانَتِكَ وَحِزْبِكَ وَحِرْزِكَ وَكَنَفِكَ وَسِتْرِكَ وَلُطْفِكَ وَمِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَسُلْطَانٍ, وَإِنْسٍ وَجَانٍّ, وَبَاغٍ وَحَاسِدٍ, وَسَبُعٍ وَحَيَّةٍ وَعَقْرَبٍ,
وَمِنْ شَرِّ كُلِّ دَابَّةٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبىِّ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ,
ALLOOHUMMAJ’AL-NII WA IYYAAHUM FII KHIFDLIKA WA ‘IYADZIKA WA ‘IYAALIKA WA JIWAARIKA, WA AMNIKA WA AMAANA-TIKA, WA HIZBIKA WA HIRZIKA, WA KANAFIKA WA SITRIKA WA LUTHFIKA, MIN KULLI SYAITHOONIN WA SULTHOONIN, WA INSIN WA JAANNIN, WA BAAGHIN WA KHAASIDIN, WA SABU’IN WA HAYYATIN WA ‘AQROBIN, WAMIN SYARRI KULLI DAABBATIN, ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHAA, INNA ROBBII ‘ALAA SHIRAATHIM-MUSTAQIIM.

Ya Allah! Jadikanlah aku dan mereka selalu dalam pemeliharaan-Mu, perlindungan-Mu, keluar besar-Mu, tetangga-Mu, keamanan-Mu, amanah-Mu, golo-ngan-Mu, benteng perlindungan-Mu, naungan perlindungan-Mu, tirai-Mu dan sifat lemah lembut-Mu, dari semua syetan dan penguasa (DLalim), dari manusia dan jin, dari orang yang durjana dan hasud, binatang buas dan ular serta kalajengking, dan dari kejahatan semua yang melata di bumi yang ubun-ubunnya berada didalam genggaman-Mu. Sesung-guhnya Tuhanku berada di atas jalan yang lurus.

حَسْبِيَ الرَّبُّ مِنَ الْمَرْبُوبِيْنَ,حَسْبِيَ الْخَالِقُ مِنَ الْمَخْلُوقِيْنَ, حَسْبِيَ الرَّازِقُ مِنَ الْمَرْزُوقِيْنَ, حَسْبِيَ السَّاتِرُ مِنَ الْمَسْتُورِيْنَ, حَسْبِيَ الناصِرُ مِنَ الْمَنْصُورِيْنَ, حَسْبِيَ القَاهِرُ مِنَ الْمَقْهُورِيْنَ, حَسْبِيَ الَّذِى هُوَحَسْبِي, حَسْبِيَ مَنْ لَمْ يَزَلْ حَسْبِي, حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, حَسْبِيَ اللهُ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِهِ.
HASBIYAR-ROBBU MINAL MARBUUBIIN. HASBIYAL KHOO-LIQU MINAL MAKHLUQIIN. HASBIYAR-ROZZAAQU MINAL MARZUUQIIN. HASBIYAS-SAATIRU MINAL MAS-TUURIIN. HASBIYAN-NAASHIRU MINAL MANSHUURIIN. HASBIYAL QAAHIRU MINAL MAQHUURIIN. HASBI-YALLADZII HUWA HASBII. HASBII MAN LAM YAZAL HASBII. HASBIYALLOOHU WA NI’MAL WAKIIL. HASBIYALLOOHU MIN JAMII’I KHALQIHI. 

Cukuplah bagiku ‘Al-Khaliq’ (Tuhan Maha Pen-cipta) sebagai penolongku daripada semua makhluk. Cukuplah bagiku ‘Al-Razzaq’ (TuhanMaha Pemberi rizki) sebagai penolongku daripada semua makhluk yang diberi rizki. Cukuplah bagiku ‘As-Satir’ (Tuhan Yang Menutupi) sebagai penolongku daripada semua makhluk yang ditutupi-Nya. Cukuplah bagiku ‘Al-Nashir’ (Tuhan Penolong) yang menolongku daripada semua makhluk yang diberi pertolongan. Cukuplah bagiku ‘Al-Qahir’ (Tuhan Yang Perkasa) sebagai penolongku daripada semua makhluk yang ditaklukkan-Nya. Cukuplah bagiku Tuhan sebagai penolongku Yang Dia adalah Pencukupku. Cukuplah bagiku Tuhan sebagai Penolongku Yang Dia senantiasa mencukupiku.  Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Cukuplah Allah menjadi Penolongku dari seluruh makhluk-Nya

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ.
INNA WALIYYIYALLOOHUL-LADZII NAZZALAL KITAABA WAHUWA YATAWALLAS-SHAALIHIIN.

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.(QS a-A’raf : 196)

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِالْلاَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا. وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا, وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْءَانِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا.
WA IDZAA QARA`TAL QUR-AANA JA’ALNAA BAINAKA WABAINALLADZIINA LAA YUKMINUUNA BIL AAKHIRATI HIJAABAM-MASTUURAA. WAJA’ALNAA ‘ALAA QULUUBI-HIM AKINNATAN AN YAFQAHUUHU WAFII AADZAANIHIM WAQRAA. WA IDZAA DZAKARTA RABBIKA FIL QUR-AANI WAHDAHUU WALLAU ‘ALAA ADBAARIHIM NUFUURAA.

Dan apabila kamu membaca Al Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur'an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.(QS al-Isra’ : 45-56)

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (7×).
FA IN TAWALLAU FAQUL : KHASBIYALLOOHU LAA ILAAHA ILLAA HUWA ‘ALAIHI TAWAKKALTU WAHUWA ROBBUL ‘ARSYIL ‘ADLIIM (DIBACA 7 X)

Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki `Arsy yang agung" (QS at-Taubah : 129).

وَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYIL ‘ADLIIM. WASHALLALLOOHU ‘ALAA SYYIDINAA MUHAM-MADININ-NABIYYIL UMMIYYI WA’ALAA AALIHII WASHAH-BIHII WASALLAM.

Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Semoga Allah melimpahkan rahmat ta’DLim dan kesejahteraan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad, Nabi yang ‘Ummi’ (buta huruf), beserta keluarga dan para sahabatnya. 

Selanjutnya menghembuskan nafas tanpa berludah ke arah kanan tiga kali, arah kiri tiga kali, arah depan tiga kali, arah belakang tiga kali, lalu diteruskan membaca doa wirid berikut ini :

خَبَأْتُ نَفْسِى فِى خَزَائِنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, أَقْفَالُهَا ثِقَتِى بِاللهِ, مَفَاتِيْحُهَا لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ,
KHOBA’TU NAFSII FII KHOZAA-INI BISMILLAAHIR ROKHMAANIR RAKHIIM. AQFAALUHAA TSIQATII BILLAAH. MAFAATIIHUHAA LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH.

“Aku sembunyikan diriku didalam gudang simpanan ‘Bismillaahirrah-maanirrahiim’. Grendel (kuncinya) adalah ‘Kepercayaanku pada Allah’. Kunci pembu-kanya adalah ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah’.

أُدَافِعُ بِكَ اللّهُمَّ عَنْ نَفْسِى مَاأُطِيْقُ وَ مَالاَ أُطِيْقُ, لاَطَاقَةَ لِمَخْلُوقٍ مَعَ قُدْرَةِ الْخَالِقِ,
UDAAFI’U BIKALLOOHUMMA ‘AN NAFSII MAA UTHIIQU WAMAA LAA UTHIIQ, LAA THOOQOTA LIMAKH-LUUQIN MA’A QUDROTIL KHOOLIQ.

Aku melindungi diriku dengan perantaran-Mu, Ya Allah, apa yang aku mampu dan apa yang aku tidak mampu. Tiada kemampuan bagi makhluk berha-dapan dengan kekuasaan Al-Khaliq.

حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلُ, بِخَفِيِّ لُطْفِ اللهِ, بِلَطِيْفِ صُنْعِ اللهِ, بِجَمِيْلِ سِتْرِ الله, دَخَلْتُ فِى كَنَفِ اللهِ, تَشَفَّعْتُ بِسَيِّدِنَا رَسُولِ اللهِ, تَحَصَّنْتُ بِأَسْمَاءِ الله, آمَنْتُ بِالله, تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ, إدَّخَرْتُ اللهَ لِكُلِّ شِدَّةٍ.

HASBIYALLOOHU WA NI’MAL WAKIIL. BIKHOFIYYI LUTHFILLAAH, BILATHIIFI SHUN’ILLAAH, BIJAMIILI SITRILLAAH. DAKHOLTU FII KANAFILLAAH, TASYAFFA’TU BISAYYIDINAA RASUULILLAAH, TAHASH-SHONTU BI-ASMAA-ILLAAH, AAMANTU BILLAAH, TAWAKKALTU ‘ALALLOOH, IDDAKHARTULLOOHA LIKULLI SYIDDAH. 

Cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dia sebaik-baik Pelindung. Berkat rahasia kelemahlembutan Allah, berkat kelemahlembutan penciptaan Allah, dan berkat kein-dahan tirai Allah, aku masuk kedalam perlindungan / naungan Allah; aku memohon syafaat junjungan kita Rasulullah; aku berlindung dengan Asma’ Allah; aku beriman kepada Allah; aku bertawakkal kepada Allah, dan aku memohon perlindungan Allah setiap menga-lami kesempitan.

اللّهُمَّ يَامَنْ إِسْمُهُ مَحْبُوبٌ, وَوَجْهُهُ مَطْلُوبٌ, إِكْفِنِى مَا قَلْبِى مِنْهُ مَرْهُوبٌ, أََنْتَ غَالِبٌ غَيرُ مَغْلُوبٍ,
ALLOOHUMMA YAA MAN ISMUHUU MAHBUUB, WA WAJ-HUHUU MATHLUUB. IKFINII MAA QALBII MIN-HU MAR-HUUB, ANTA GHAALIBUN GHAIRU MAGHLUUB.

Ya Allah, wahai Tuhan yang Nama-Nya dicintai dan ‘Wajah-Nya’ selalu dicari, cukupilah aku (dari) sesuatu yang darinya menakutkan hatiku. Engkau Tuhan Yang Mengalahkan, tana pernah terkalahkan.

وَصَلىَّ الله عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

WASHOLLALLOOHU ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA AALIHII WASHAHBIHII WASALLAM. HASBIYALLOOHU WANI’MAL WAKIIL.

Semoga Allah melimpahkan rahmat ta’DLim dan kesejahteraan kepada junjungan kita, Nabi Muham-mad, beserta keluarga dan para sahabatnya.

KEMUDIAN MEMBACA :

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ اْلوَ كِيْلُ (70x)
KHASBUNALLOOH WA NI’MAL WAKIIL

Cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dia sebaik-baik Pelindung.

وَاُفَوِّضُ اَمْرِيْ اِلَى اللهِ ، اِنَّ اللهَ بَصِيْرٌ بِاْلعِبَـادِ (11x )
UFAWWIDHU AMRI ILALLOOH, INNALLOOHA BASHIIRUN BIL ’IBAAD.

Kupasrahkan segala urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya.


ADZAN DAN IQOMAH UNTUK BAYI YANG BARU DILAHIRKAN

ADZAN DAN IQOMAH UNTUK BAYI YANG BARU DILAHIRKAN

Mengumandangkan adzan serta iqomah di telinga bayi yang baru lahir merupakan bentuk pendidikan anak sejak dini agar mengenalkan keagungan Ilahi rabbi dan agama Islam. Getaran ruhaniah kalimat thoyyibah yang menggema melalui telinga bayi diharapkan merasuki relung jiwanya.

Bagaimana hukumnya melakukan hal tersebut? Apakah pernah diajarkan Rasulullah SAW?

Para ulama sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah pada saat seorang bayi terlahir ke dunia.

Dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz I, hal 61 dinyatakan bahwa adzan juga disunnahkan untuk perkara selain shalat. Di antaranya adalah adzan di telinga anak yang baru dilahirkan. Seperti halnya sunnnah untuk melakukan iqamah di telinga kirinya.

Kesunnahan ini dapat diketahui dari sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ :
عَنْ أبِي رَافِعٍ أنَّهُ قَالَ, رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أذَّنَ فِيْ أذُنِ الحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ --سنن أبي داود

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan Adzan di telinga Husain ketika siti fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan Adzan shalat. (HR Abi Dawud).

Lalu tentang fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya.

Sayyid Alawi menyatakan, perbuatan itu ada relevansinya untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagai mana yang keterangan yang ada dalam hadits.

Dengan demikian jelaslah hukum dan faedah mengumandangkan adzan dan iqamah untuk anak yang baru  lahir.

Wallahu alam.

Selasa, 08 November 2016

ALLAH MENGAJARKAN AGAR BERDZIKIR SECARA SENDIRI DAN BERSAMA KHALAYAK (BERJAMAAH)

ALLAH MENGAJARKAN AGAR BERDZIKIR SECARA SENDIRI DAN BERSAMA KHALAYAK (BERJAMAAH)

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda : 
Allah swt.berfirman :
اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْأتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة.


“Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan khalayak orang, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’

Maka cara inilah yang digunakan ahlus sunnah sejak jaman sahabat dalam berdzikir, yaitu secara sendiri-sendiri ataupun secara berjamaah.
Wallahu a’lam

JANGAN HENTIKAN AMALAN DZIKRULLAH KARENA DIANGGAP GILA ATUPUN PAMER (RIYA’)

JANGAN HENTIKAN AMALAN DZIKRULLAH KARENA DIANGGAP GILA ATUPUN PAMER (RIYA’)

Imam Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya menukil hadits dibawah ini :

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: أَنَّ دَرّاجا أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَكْثِرُوا ذِكْرَ اللَّهِ حَتَّى يَقُولُوا: مَجْنُونٌ."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraij, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris yang menceritakan bahwa Darij alias Abus Samah pernah menceritakan hadis berikut dari Abul Haisam, dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Berzikirlah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya hingga mereka mengatakan bahwa (kalian) tergila-gila.

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكرم العَمِّي، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُفْيَانَ الجَحْدَرِي، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي ثُبَيت الرَّاسِبِيِّ، عَنِ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا [حَتَّى] يقول الْمُنَافِقُونَ: تُرَاءُونَ."

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram yang tuna netra, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Safin Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, dari Uqbah ibnu Abu Syabib Ar-Rasi, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Berzikirlah kepada Allah dengan sebenar-benarnya hingga orang-orang munafik mengatakan bahwa sesungguhnya kalian pamer.

FAEDAH :

Syetan tidak rela bila melihat orang berdzikir pada Allah, dan akan berusaha menanamkan was-was dalam hatinya. Bahkan melalui orang yang ada penyakit dihatinya, mereka akan mengejek (menganggap rendah bahkan salah) orang yang beramal dzikrulah dengan sebutan Pamer (riya’) bahkan gila ataupun sesat. Padahal merekalah yang sebenarnya sedang ditipu oleh setan dengan kedengkiannya terhadap ahli dzikir.

Berdasarkan hadits diatas, walaupun orang-orang munafik ataupun orang-orang jahil mengejek para ahli dzikir dengan sebutan riya’ (pamer) dan gila, hendaknya jangan sampai meninggalkan amalan yang berharga ini, bahkan sebaliknya diperbanyak dan dijaga dengan istiqomah.

Dzikir yang banyak merupakan perintah Allah, dzikrullah tak terbatas waktunya dan tidak ada orang berakal yang memiliki penghalang (udzur) untuk mengamalkannya.

Kita dianjurkan berdzikir sebanyak-banyaknya semampunya, jangan sampai dikurangi. Meninggalkan dzikrullah hanya karena dikatakan gila ataupun pamer (riya’) adalah kerugian bagi kita. Ulama ahli dzikir menuliskan hal tersebut juga merupakan salah satu tipudaya syetan. Yakni pada mulanya akan ditanamkan was-was dalam benak pikirannya, “ jika akau berdzikir nanti akan terlihat oleh fulan, dan ia akan bilang begini-begitu, sehingga syetan dengan tipudayanya berhasil menghambat amalan dzikir kita.

Hendaknya kita menjaga keikhlasan hati kita serta tawajuh terhadap keagungan Allah, dalam keadaan bersendirian maupun terlihat oleh orang lain dalam berdzikir, tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Dengan menumbuhkan sifat ihsan merasa dalam pengawasan Allah dalam kesendirian maupun keramaian.

Maulanya Muhammad zakariya al kandahlawi menyebutkan dalam Fadhilah dzikir, ulama mengajarkan, “ MENINGGALKAN SUATU AMALAN KARENA TAKUT DILIHAT OLEH ORANG LAIN ADALAH RIYA’ , DAN BERAMAL DENGAN NIYAT AGAR DILIHAT ORANG LAIN ADALAH SYIRIK”

Wallahu a’lamu


Jumat, 04 November 2016

NASEHAT IMAM GHOZALI : KALA PEMBELA AGAMA LEBIH BAHAYA DARIPADA PENGHINANYA

NASEHAT IMAM GHOZALI : KALA PEMBELA AGAMA LEBIH BAHAYA DARIPADA PENGHINANYA

ضَرَرُ الشَّرْعِ مِمَّنْ يَنْصُرُهُ لَا بِطَرِيْقِهِ أَكْـــثَرُ مِنْ ضَـرَرِهِ مِمَّنْ يَطْعَنُ فِيْـهِ

Bahaya terhadap agama yang datang dari para pembelanya yang menggunakan cara-cara menyimpang lebih besar daripada bahaya yang datang dari para pencelanya yang memakai cara-cara yang benar.” [Abu Hâmid al-Ghazâlî, Tahâfutul Falâsifah]

Islam menekankan argumentasi nalar ketika para pemeluknya menjelaskan kebenaran agamanya. Karena itulah cara yang paling sehat dan benar. Kritik terhadap agama baik secara lisan ataupun tulisan ilmiah, misalnya, menurut Imam Al-Ghazali itu memiliki mudarat lebih kecil ketimbang orang-orang yang mengaku membela agama namun perilakunya di luar jalur agama. Al-Ghazali sendiri mengatakan hal tersebut dalam Tahafutul Falasifah, kitab yang berusaha membeberkan jawaban rasional (hujjah aqliyyah) atas sejumlah kerancuan pemikiran para filsuf Muslim kala itu.

Ia menyelaraskan kutipan tersebut dengan sebuah ungkapan ‘aduwwun âqilun khairun min shadîqin jâhilin, yang berarti musuh yang cerdik lebih baik (strateginya) ketimbang kawan yang bodoh. Dengan bahasa lain, penghina yang cerdas dan elegan lebih baik  (strateginya) ketimbang pembela yang dungu dan emosional. Al-Ghazali menyebut yang terakhir ini lebih berbahaya ketimbang yang pertama karena menyangkut tak hanya citra agama tapi juga masa depan internal agama itu sendiri. Sang hujjatul islamini seolah hendak mengatakan, bila engkau hendak menjadi pembela agama, lakukanlah sesuai jalur agamamu yang menjunjung tinggi akal sehat dan membawa rahmat untuk semua! Wallâhu a‘lam.

USHUL DAKWAH WALISONGO DI BUMI NUSANTARA

USHUL DAKWAH WALISONGO DI BUMI NUSANTARA


NGLURUK TANPO WADYO BOLO
(Datangi umat tanpa pasukan tentara)

Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan. Jangan yakin dengan banyaknya jumlah kita,…..yakin dengan pertolongan Allah swt. 

MABUR TANPO LAR
(Terbang tanpa Sayap)

Kita bergerak jumpa umat…dari orang ke orang…. jumpa ke rumah-rumah mereka ..Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa asbab/ sebab yang nampak.

MLETIK TANPO SUTANG
(Meloncat Tanpa Kaki)

Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan. Niat untuk dakwah keseluruh alam, Allah swt yg berangkatkan kita bukan asbab-asbab dunia seperti harta dsb…

SENJOTO KALIMOSODO
(senjatanya 2 kalimat syahadat)

Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah SWT. selalu mendakwahkan kalimat iman, mengajak umat pada iman dan amal salih….

DIGDOYO TANPO AJI
(Sakti tanpa ajian, berserah diri mengandalkan Nusrotullah)

Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik, perasaan dan mentalnya namun mereka seakan-akan seperti orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata. Kita dakwah, Allah swt akan Bantu (jika kalian Bantu Agama Allah, maka pasti Allah akan tolong kalian dan Allah akan menangkan kalian)

PERANG TANPO TANDING
(Mengalahkan tanpa harus bertempur)

Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat atau bertengkar. dakwah dengan hikmah, kata-kata yg sopan, ahlaq yg mulia dan doa menangis-menangis pada Allah agar umat yg kita jumpai dan umat seluruh alam dapat hidayah….bukan dengan kekerasan…. Nabi saw bersabda yg maknanya kurang lebih : ‘Haram memerangi suatu kaum sebelum kalian berdakwah (berdakwah dgn hikmah) kepada mereka” 
Menang Tanpo Ngesorake/Merendahkan : Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya.

MULYO TANPO PUNGGOWO
(Kemulyaan bukan pada pangkat drajat manusia)

Kemuliaan hanya dalam Iman dan Amalan agama bukan dengan banyaknya pengikut. Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi karena menjadi Da’i yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan hidup, maka Allah swt muliakan mereka.

SUGIH TANPO BONDO
(Kekayaan bukan pada harta benda)

Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia. Jangan yakin pada harta….kebahagiaan dalam agama, dakwah jangan bergantung dgn harta

KUNCARA TANPO WORO-WORO
(Terkenal bukan karena iklan pencitraan)

Menyebar, terkenal tanpa gembar-gembor, propaganda, iklan-iklan dsbartinya bergerak terus jumpa umat, kerja untuk umat, kerja untuk Agama dengan ikhlas karena mengharap Ridho Allah swt, tidak perlu disiar-siarkan atau di umum-umumkan. Allah sajalah yang menilai perjuangan kita.

Arahan Ulama dalam menjalankan Dakwah bil Hikmah diatas menjadikan Islam berkembang di Nusantara bukan melalui jalan perang pertumpahan darah, namun dengan JALAN DAKWAH sehingga Agama Mencerahkan Hati orang Nusantara menerima ISLAM dengan penuh kesadaran.

Jika sudah memahami kaidah dalam mendakwahkan Islam diatas barulah dikirim rombongan dakwah ke seluruh penjuru Nusantara dalam bimbingan Ulama.

YEN WIS TIBO TITIWANCINE, KALI-KALI ILANG KEDUNGE, PASAR ILANG KUMANDANGE, WONG WADON ILANG WIRANGE MANGKA ENGGAL – ENGGALA TAPA LELANA NJLAJAH DESA MILANG KORI PATANG SASI AJA NGASIK BALIK YEN DURING OLIH PITUDUH (HIDAYAH) SAKA GUSTI ALLAH” 

Artinya kurang lebih :

“Jika sudah tiba zamannya dimana :
·         Sungai2 hilang kedalamannya (banyak org yg berilmu yg tdk amalkan ilmunya),
·         Pasar hilang gaungnya, jika masjid2 tak ada adzan,
·         wanita2 hilang malunya (tdk tutup aurat dsb)
maka cepat2lah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung) dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah utk dakwah) janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah SWT.”


Wallahu a’lam

Kamis, 03 November 2016

FADHILAH SHOLAT ISYROQ

MERAIH PAHALA HAJI DAN UMRAH SEMPURNA
(FADHILAH SHOLAT ISYROQ)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“ (HR at-Tirmidzi)

FAEDAH :

Shalat isyroq sebenarnya termasuk shalat Dhuha, namun dikerjakan di awal waktu, yaitu mulai matahari setinggi tombak, sekitar 15-20 menit setelah matahari terbit.

Penyebutan shalat ini dengan shalat isyraq berdasarkan penamaan sahabat Ibnu ‘Abbas.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazamul dalam kitabnya yang bertajuk Bughyatul Mutathawwi’ fi Shalatit Tathawwu’Shalatul Isyraq, “Telah tsabit (tetap) penamaan shalat dhuha yang dilaksanakan di awal waktu sebagai shalat isyraq dari Ibnu ‘Abbasradhiallahu ‘anhuma. ‘Abdullah bin Harits bin Naufal meriwayatkan,

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ لَا يُصَلِّي الضُّحَى. فَأَدْخَلْتُهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ، فَقُلْتُ: أَخْبِريْ هَذَا بِمَا أَخْبَرْتِنِيْ
بِهِ. فَقَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمَ الْفَتْحِ فِيْ بَيْتِيْ، فَأَمَرَ بِمَاءٍ، فَصَبَّ فِيْ قَصْعَةٍ، ثُمَّ أَمَرَ بِثَوْبٍ، فَأَخَذَ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ، فَاغْتَسَلَ،ثُمَّ رَشَّ نَاحِيَةَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، وَذَلِكَ مِنَ الضُّحَى، قِيَامُهُنَّ وَرُكُوعُهُنَّ وَسُجُودُهُنَّ وَجُلُوسُهُنَّ سَوَاءٌ، قَرِيبٌ بَعْضُهُنَّ مِنْبَعْضٍ.
فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ، مَا عَرَفْتُ صَلاَةَ الضُّحَى إِلَّا الْآنَ: { يُسَبِّحۡنَ بِٱلۡعَشِيِّ وَٱلۡإِشۡرَاقِ }، وَكُنْتُ أَقُولُ: أَيْنَ صَلاَةُ الْإِشْرَاقِ؟ ثُمَّ قَالَ بَعْدُ: هُنَّ صَلاَةُ الْإشْرَاقِ.

Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tidak pernah shalat dhuha. Lantas akumembawanya masuk ke Ummu Hani’, aku berkata, “Beritakan padanya apa yang kamu beritakan padaku.”
Ummu Hani’ berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui aku di rumahku pada hari penaklukan kota Mekah, lalu memerintahkan agar disiapkan air, lalu beliau menuangnya ke dalam bejana, lalu memerintahkan disiapkan pakaian, lalu mengambil tempat terpisah antara dirinya dan aku, lalu beliau mandi, lalu memerciki salah satu sudut rumah, lalu shalat delapan rakaat. Itu adalah shalat dhuha. Lama berdirinya, rukuknya, dan sujudnya hampir sama.”
Kemudian Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma keluar seraya berkata, “(Demi Allah) sungguh aku telah membaca di mushaf, tetapi tidaklah aku mengetahui shalat dhuha kecuali sekarang. (Allah berfirman),
يُسَبِّحۡنَ بِٱلۡعَشِيِّ وَٱلۡإِشۡرَاقِ ١٨
Gunung-gunung itu bertasbih di pagi hari dan petang hari.” (Shad: 18)
Adalah aku sebelumnya bertanyatanya, ‘Mana shalat isyraq itu?’ Ternyata itulah shalat isyraq.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tafsir-nya dan al- Hakim)


An Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Apakah engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?
Jabir menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.

Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim)

Setelah sholat subuh hingga terbit matahari (syuruq) merupakan waktu terlarang untuk melaksanakan sholat sunah. Namun dalam waktu tersebut Rosulallah shallallahu alaihi wasalam mensunahkan tidak beranjak dari masjid atau beriktikaf dengan amalan dzikrullah (termasuk membaca dan mentadaburi alquran, taklim ataupun perbincangan yang tidak sia-sia untuk mengagungkan kebesaran Allah ta’ala). Amalan tersebut dilaksanakan hingga sekitar 10 menit setelah terbit matahari (isyroq) kemudian melaksanakan sholat dua rakaat. Keutamaannya adalah pahalanya seperti haji dan umroh yang sempurna, walaupun bukan berarti sebagai peganti ibadah haji atau umroh.

Amalan tersebut merupakain amaliah yang merupakan rangkaian amal sholat subuh berjamaah di masjid. Namun demikian bagi yang ada udzur ataupun perempuan yang tidak melaksanakan sholat berjamaah di masjid dapat mengamalkannya di tempat sholatnya dirumah, dzikrullah hingga 10 menit setelah waktu terbit matahari, lalu sholat sunah 2 rakaat. Insya allah keutamaannya akan sama seperti mereka (laki-laki) yang melaksanakannya di masjid.


Wallahu a’lam.

iklan