فَصْلٌ فِيْ
بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ
Pasal 1
Untuk menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah
اَلسُّنَّةُ
بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ :
لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ
لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي
الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى
نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ
التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.
Lafazh Assunnah dengan
dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan
oleh Imam Al-Baqa` dalam kitab ‘Kulliyat’-nya secara etimologi
adalah Thariqah / jalan, sekalipun yang tidak diridloi.
Menurut terminologi
syara’ Assunnah merupakan Thariqah / jalan
yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau selain beliau, yakni
mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada
para sahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Tetaplah kalian untuk
berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al – Khulafaur Rasyidin,
setelahku”.
Sedangkan menurut
terminologi ‘Urf adalah apa yang dipegangi secara konsisten
oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun
istilah Assunny merupakan bentuk penisbatan dari lafazh Assunnah dengan
membuang ta` untuk penisbatan.
وَالْبِدْعَةُ
كَمَا قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ
اَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ
كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:" وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ "
Bid’ah sebagaimana
dikatakan oleh Syekh Zaruuq didalam kitab “Iddatul Murid” menurut
terminologi syara’ adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama
seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan,
baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini
didasarkan pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Barang siapa menciptakan
perkara baru didalam urusanku , padahal bukan merupakan bagian daripadanya,
maka hal itu ditolak”
Dan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Dan segala bentuk perkara
yang baru adalah bid’ah”
وَقَدْ
بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ
الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ
بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ
الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا
فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.
Para ulama rahimahullaah menjelaskan
tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan
kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang
sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi
bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa
jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia
menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furuu’usysyyarii’ah sehingga
ia dapat dianalogikan kepada syari’at.
وَقَالَ
الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ
الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
Al-‘Allamah Muhammad
Waliyuddin Asysyibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in Annawawiyah memberikan
komentar atas sebuah hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Barang siapa membuat
persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka
ditimpakan kepadanya laknat Allah”.
وَدَخَلَ فِي
الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ
وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا
يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ
وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ وَالْحِسَابِ
.
Masuk dalam kerangka
interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad fasidah,
menghukumi dengan kebodohan dan ketidak adilan, dan lain-lain
dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.
Keluar dari bingkai
pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil
syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana
tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan
dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis
Mushaf, mengintisarikan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun
kitab Nahwu, ilmu hisab.
وَلِذَا
قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ
الْخَمْسَةِ فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ
النَّحْوِ وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ
الشَّرِيْعَةِ عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ
وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ
وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ,
وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً
كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ
وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .
Karena itulah Imam Ibnu
Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang
lima. Beliau berkata: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak
pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam,
(Bid’ah tersebut
adakalanya) Bid’ah Wajibah seperti mempelajari ilmu
Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat
didalam Al-Qur’an ataupun Assunnah dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi
tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
Dan BID’AH MUHARRAMAH seperti : aliran Qadariyah,
Jabariyah, dan Mujassimah.
BID’AH MANDUBAH seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
BID’AH MAKRUHAH seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
BID’AH MUBAHAH seperti : bersalaman selesai shalat Subuh dan Asar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.
BID’AH MANDUBAH seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
BID’AH MAKRUHAH seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
BID’AH MUBAHAH seperti : bersalaman selesai shalat Subuh dan Asar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.
فَإِذَا
عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ
السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ
التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ
الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ
Setelah kita mengetahui
apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa
berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafazhkan niat, membaca
tahlil ketika kirim bersedeqah setelah kematian dengan catatan tidak
adanya perkara yang mencegah untuk bersedeqah tersebut, menziarahi
makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah
وَإِنَّ مَا
أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ,
وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ
Dan sesungguhnya
perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar –
pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk
seburuk- buruknya bid’ah.
(RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH- Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari)
(RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH- Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari)
mukadimah-risalah-aswaja << -- ARTIKEL TERKAIT -- >> pasal2-penduduk-jawa-adalah-aswaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar