iklan banner

Senin, 26 Desember 2016

PASAL 1 SUNAH DAN BIDAH

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ

Pasal 1 Untuk menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah

اَلسُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ : لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ  فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ  مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.

Lafazh Assunnah dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Baqa` dalam kitab ‘Kulliyat’-nya secara etimologi adalah Thariqah  / jalan, sekalipun yang tidak diridloi.

Menurut terminologi syara’ Assunnah  merupakan Thariqah /  jalan yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah  shallallaahu ‘alaihi wasallam atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat  radhiyallaahu ‘anhum.

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al – Khulafaur Rasyidin, setelahku”.

Sedangkan menurut terminologi ‘Urf  adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah Assunny merupakan bentuk penisbatan dari lafazh Assunnah  dengan membuang ta` untuk penisbatan.

وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ :" وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ "

Bid’ah  sebagaimana dikatakan oleh Syekh Zaruuq didalam kitab “Iddatul Murid” menurut terminologi syara’ adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku , padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”

Dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”

وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.

Para ulama  rahimahullaah menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada  perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furuu’usysyyarii’ah sehingga ia dapat dianalogikan kepada syari’at.

وَقَالَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ  اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin Asysyibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in Annawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah”.

وَدَخَلَ فِي الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ وَالْحِسَابِ .

Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidak adilan, dan lain-lain dari  berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.

 Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis Mushaf,  mengintisarikan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab.


وَلِذَا قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ  فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ الشَّرِيْعَةِ عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .

Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau berkata:  “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,

(Bid’ah  tersebut adakalanya)  Bid’ah Wajibah seperti   mempelajari ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Assunnah dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

Dan BID’AH MUHARRAMAH seperti : aliran  Qadariyah, Jabariyah, dan Mujassimah.

BID’AH MANDUBAH seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

BID’AH MAKRUHAH seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.

BID’AH MUBAHAH seperti : bersalaman selesai shalat Subuh dan Asar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.

فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafazhkan niat, membaca tahlil ketika kirim bersedeqah setelah kematian  dengan catatan tidak adanya  perkara yang mencegah untuk bersedeqah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah

وَإِنَّ مَا أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ, وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar – pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.


(RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH- Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari)

mukadimah-risalah-aswaja << -- ARTIKEL TERKAIT --  >> pasal2-penduduk-jawa-adalah-aswaja                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan