iklan banner

Selasa, 13 Desember 2016

MEMAHAMI HADITS TENTANG BIDAH 01

JANGAN GAMPANG MENUDUH BIDAH 
DENGAN MEMAHAMI SECARA BENAR HADITS : 
MAN AKHDATSA FII AMRINA

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم ]

Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan (berasal/bersumber) darinya, maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim),

PEMBAHASAN :

SALAH KAPRAHNYA PEMAHAMAN SEKTE SALAFY WAHABI TERHADAP HADITS DIATAS

Sering hadits diatas digunakan sebagai dalil oleh Sekte Salafy-Wahaby yang gampang melakukan penilaian terhadap amalan muslimin yang berbeda faham (ikhtilaf) dan menuduhnya sebagai amalan Bidah (perkara baru) yang TERTOLAK. Serta berfaham semua BIDAH (perkara baru) adalah TERTOLAK.

Kerancuan pemahamannya dikarenakan mereka salah mengartikan hadits diatas dengan dua macam pengartian yang salah kaprah :
1.      "Barang siapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak "
2.      "Barang siapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak"

Kedua pengertian yang sering dijadikan argumen pembidahan amalan muslimin  tersebut nampaknya sekilas benar, padahal pengertian tersebut mengandung distorsi (penyelewengan) makna dan pengelabuan bagi umat muslim yang awam.

Kalau kita bedah, kalimat hadist diatas menjadi tiga kalimat :

1.      MAN AKHDATSA FII AMRINA  (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَ هَذَا )
Artinya : Siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini,

2.      MAA LAITSA MINHU (مَا لَيْسَ مِنْهُ ) :
Artinya : yang bukan (berasal/bersumber) darinya

3.      FAHUWA RODDUN (فَهُوَ رَدٌّ )
Artinya : maka dia tertolak


JIKA adits ini mereka artikan:

Pertama : "BARANG SIAPA YANG BERBUAT HAL BARU DALAM AGAMA, MAKA IA TERTOLAK "

Jika mereka mengartikan demikian, maka mereka sengaja MEMBUANG kalimat MAA LAITSA MINHU - (yang bukan (berasal/bersumber) darinya).
Maka haditsnya menjadi:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَ هَذَا فَهُوَ رَدٌّ

KEDUA :
"BARANG SIAPA YANG BERBUAT HAL BARU YANG TIDAK ADA PERINTAHNYA, MAKA IA TERTOLAK"
Jika diartikan seperti itu, berarti dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU diganti menjadi MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi:


مَنْ أَحْدَثَ أفِي َمْرِنَ هَذَا ﻣَﺎ ﻟﻴَْﺲَ ﻣَﺄﻣُﻮْرا ﺑﻪِ فَهُوَ رَدٌّ

Sungguh pengurangan makna maupun pengubahan makna ini, adalah sebuah distorsi dalam makna hadits dan merupakan pengelabuan pada umat muslim yang awam.


PEMAHAMAN ULAMA AHLUS SUNNAH WALJAMAAH

Bagaimana penjelasan ulama Ahlus sunnah wal jamaah dalam menerangkan makna hadits diatas ?

Jawab :

1. AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :
hadist di atas dalam MANTHUQ nya menunjukan bahwa :
setiap perbuatan yg tdk masuk dalam urusan syari’at maka tertolak,

akan tetapi dalam MAFHUM nya menunjukan bahwa :
setiap perbuatan yg masih dalam urusan (yang diatur) syari’at maka ia di terima dalam artian tidak tertolak “


2. IMAM AL-ALLAMAH ABDULLAH AL-GHAMARI

“hadist di atas ( MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA MA LAISA MINHU FAHUWA RADDUN ) adalah sebgai hadist MUKHASSIS (memperkhusus ) daripada sebuah hadist ”KULLU BID’ATIN DHOLALAH “.

sebab jikalau semua perbuatan bid’ah di anggap sesat, tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist di atas berbunyi ( MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA SYA’IAN FAHUWA RODDUN : tidak ada kalimat ” MA LAISA MINHU “nya )

akan tetapi ketika hadist di atas berbunyi :” MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA MA LAISA MINHU FAHUWA RADDUN “ maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :

ماليس من الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .
فهو مردود :وهو البدعة الضلال.

Perbuatan baru yang bukan dari agama , yaitu perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama dan dalil-dalilnya. Perbuatan seperti itu adalah tertolak dan bid’ah semacam inilah yg sesat ,


وماهو من الدين : بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة.
Perbuatan-perbuatan yang dari agama, yaitu perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal, atau di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan, perbuatan bid’ah semcam ini di terima dan tidak tertolak, inilah yg di sebut ” BID’AH HASANAH “

, ويؤيد حديث جرير عند مسلم
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .
hal tersebut di dukung oleh hadist jarir menurut imam muslim :
“ barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “

3. IMAM IBNU HAJAR AL-HAITAMY :

Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari dan Muslim )

Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “MAA LAISA MINHU” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :

“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.  (Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94)

Demikianlah penjelasan ulama ahlussunnah wal jamaah dalam menerangkan persoalan BIDAH. Semoga kita bisa menambil pelajaran dan tidak tersesat dengan pemahaman yang keliru dan menjadi ahli fitnah yang suka menjadi hakim untuk menyesatkan amalan saudara muslim lainnya.

Persoalan khilafiah (perbedaan pendapat dikalangan ulama) adalah hal yang wajar dan saling menghargai karena ulama melakukan ijtihadnya berlandaskan, Alquran, Assunnah, Ijma dan Qiyas dalam menilai maupun melandaskan sandaran dalil dalam suatu amaliah.

Wallahu a’lam


5 komentar:

  1. Setuju ustadz. Syukran ilmunya

    BalasHapus
  2. Bissmillah, sayang sekali penjelasan di atas kurang ahli dalam menyimpangkan dalil dan makna kata. Tunggulah aku bersama orang² yang menunggu... Subhanallah.

    BalasHapus
  3. Ha!
    satu kalimat dibedah menjadi tiga.
    pemikiran agak mirip-mirip kaum trinitas.
    Subhanallah

    BalasHapus

iklan