JANGAN GAMPANG
MENUDUH BIDAH
DENGAN MEMAHAMI SECARA BENAR HADITS :
MAN AKHDATSA FII AMRINA
عَنْ أُمِّ
الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم ]
Dari Ummul Mu’minin; Ummu
Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda : Siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan
(agama) kami ini, yang bukan (berasal/bersumber) darinya, maka dia tertolak.
(Riwayat Bukhori dan Muslim),
PEMBAHASAN :
SALAH KAPRAHNYA PEMAHAMAN SEKTE SALAFY WAHABI TERHADAP
HADITS DIATAS
Sering hadits diatas
digunakan sebagai dalil oleh Sekte Salafy-Wahaby yang gampang melakukan
penilaian terhadap amalan muslimin yang berbeda faham (ikhtilaf) dan menuduhnya
sebagai amalan Bidah (perkara baru) yang TERTOLAK. Serta berfaham semua BIDAH
(perkara baru) adalah TERTOLAK.
Kerancuan pemahamannya
dikarenakan mereka salah mengartikan hadits diatas dengan dua macam pengartian
yang salah kaprah :
1.
"Barang
siapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak "
2.
"Barang
siapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak"
Kedua pengertian yang
sering dijadikan argumen pembidahan amalan muslimin tersebut nampaknya sekilas benar, padahal
pengertian tersebut mengandung distorsi (penyelewengan) makna dan pengelabuan
bagi umat muslim yang awam.
Kalau kita bedah, kalimat
hadist diatas menjadi tiga kalimat :
1.
MAN AKHDATSA FII
AMRINA (مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَ هَذَا )
Artinya
: Siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini,
2.
MAA LAITSA MINHU
(مَا
لَيْسَ مِنْهُ ) :
Artinya
: yang bukan (berasal/bersumber) darinya
3.
FAHUWA RODDUN (فَهُوَ رَدٌّ )
Artinya
: maka dia tertolak
JIKA adits ini mereka
artikan:
Pertama : "BARANG
SIAPA YANG BERBUAT HAL BARU DALAM AGAMA, MAKA IA TERTOLAK "
Jika
mereka mengartikan demikian, maka mereka sengaja MEMBUANG kalimat MAA LAITSA
MINHU - (yang bukan (berasal/bersumber) darinya).
Maka
haditsnya menjadi:
مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَ هَذَا فَهُوَ رَدٌّ
KEDUA :
"BARANG SIAPA YANG
BERBUAT HAL BARU YANG TIDAK ADA PERINTAHNYA, MAKA IA TERTOLAK"
Jika diartikan seperti
itu, berarti dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU diganti
menjadi MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya
menjadi:
مَنْ
أَحْدَثَ أفِي َمْرِنَ هَذَا ﻣَﺎ ﻟﻴَْﺲَ ﻣَﺄﻣُﻮْرا ﺑﻪِ فَهُوَ رَدٌّ
Sungguh pengurangan makna
maupun pengubahan makna ini, adalah sebuah distorsi dalam makna hadits dan merupakan
pengelabuan pada umat muslim yang awam.
PEMAHAMAN ULAMA AHLUS SUNNAH WALJAMAAH
Bagaimana penjelasan ulama
Ahlus sunnah wal jamaah dalam menerangkan makna hadits diatas ?
Jawab :
1. AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :
hadist di atas dalam MANTHUQ nya menunjukan bahwa :
setiap perbuatan yg tdk
masuk dalam urusan syari’at maka tertolak,
akan tetapi dalam MAFHUM nya menunjukan bahwa :
setiap perbuatan yg masih
dalam urusan (yang diatur) syari’at maka ia di terima dalam artian tidak
tertolak “
2. IMAM AL-ALLAMAH ABDULLAH AL-GHAMARI
“hadist di atas ( MAN
AHDATSA FI AMRINA HADZA MA LAISA MINHU FAHUWA RADDUN ) adalah sebgai hadist
MUKHASSIS (memperkhusus ) daripada sebuah hadist ”KULLU BID’ATIN DHOLALAH “.
sebab jikalau semua
perbuatan bid’ah di anggap sesat, tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist
di atas berbunyi ( MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA SYA’IAN FAHUWA RODDUN : tidak
ada kalimat ” MA LAISA MINHU “nya )
akan tetapi ketika hadist
di atas berbunyi :” MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA MA LAISA MINHU FAHUWA RADDUN “
maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :
ماليس من
الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .
فهو مردود
:وهو البدعة الضلال.
Perbuatan baru yang bukan
dari agama , yaitu perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama
dan dalil-dalilnya. Perbuatan seperti itu adalah tertolak dan bid’ah semacam
inilah yg sesat ,
وماهو من
الدين : بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة.
Perbuatan-perbuatan yang
dari agama, yaitu perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal, atau
di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan, perbuatan bid’ah semcam ini di terima
dan tidak tertolak, inilah yg di sebut ” BID’AH HASANAH “
, ويؤيد
حديث جرير عند مسلم
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .
hal tersebut di dukung
oleh hadist jarir menurut imam muslim :
“ barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “
“ barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “
3. IMAM IBNU HAJAR
AL-HAITAMY :
Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah
SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang
mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama
kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R.
Bukhari dan Muslim )
Ibnu Hajar al-Haitamy
mengatakan bahwa makna “MAA LAISA MINHU” (sesuatu yang
bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak
didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam
uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak
bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid
syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. (Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin,
al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94)
Demikianlah penjelasan
ulama ahlussunnah wal jamaah dalam menerangkan persoalan BIDAH. Semoga kita
bisa menambil pelajaran dan tidak tersesat dengan pemahaman yang keliru dan
menjadi ahli fitnah yang suka menjadi hakim untuk menyesatkan amalan saudara
muslim lainnya.
Persoalan khilafiah
(perbedaan pendapat dikalangan ulama) adalah hal yang wajar dan saling
menghargai karena ulama melakukan ijtihadnya berlandaskan, Alquran, Assunnah,
Ijma dan Qiyas dalam menilai maupun melandaskan sandaran dalil dalam suatu
amaliah.
Wallahu a’lam
Mantap ustad
BalasHapusSetuju ustadz. Syukran ilmunya
BalasHapusUstadz sy mohon izin dishare
BalasHapusBissmillah, sayang sekali penjelasan di atas kurang ahli dalam menyimpangkan dalil dan makna kata. Tunggulah aku bersama orang² yang menunggu... Subhanallah.
BalasHapusHa!
BalasHapussatu kalimat dibedah menjadi tiga.
pemikiran agak mirip-mirip kaum trinitas.
Subhanallah