TINJAUAN HUKUM SYARIAT DALAM TRADISI SEDEKAH MAKANAN
(KENDURI),
ZIARAH KUBUR DALAM BULAN SYA’BAN (RUWAHAN DAN NYADRAN)
Bulan sya’ban merupakan
bulan yang mulia dan istimewa,dimana selama satu tahun amal manusia dilaporkan
ke hadzirat ilahi Robbi.dinamakan bulan sya’ban karena dimana setiap amal
kebaikan satu akan dilipat gandakan.Rosululloh sendiri memperbanyak amal dan
melakukan puasa sebulan penuh.
Yahya bin muadz
berkata:sya’ban itu mempunyai lima huruf,dan ALLOH akan memberi tiap huruf pada
orang yang mau memuliakannya.
syin artinya syafaat,ain
artinya mulia
ba’ artinya kebaikan alif
artinya rukun dan
nun artinya cahaya.
dengan demikian maka bulan
rojab adalah bulan membersihkan badan,
bulan sya’ban adalah bulan
membersihkan hati dan
bulan romadhon adalah bulan
membersihkan ruh.
sesungguhnya orang yang
membersihkan badan dibulan rojab,maka akan bersih hatinya dibulan sya’ban,dan
orang yang membersihkan hatinya di bulan sya’ban,maka akan bersih ruhnya
dibulan romadhon.
Bulan Sya’ban telah tiba,
sebagian masyarakat kita menamakan bulan Sya’ban dengan bulan Ruwah. Kata Ruwah
identik dengan kata arwah, memang keduanya saling berhubungan.
Bulan Sya’ban menjadi
bulan spesial, artinya ada beberapa tradisi yang berlaku di bulan ini yang
tidak dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Diantara tradisi itu adalah menengok
makam atau meziarahi kubur orang tua, kakek-nenek, saudara, sanak family, suami
atau istri, anak atau bapak yang telah mendahului.
Ada banyak macam nama
untuk tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan atau di akhir bulan
Sya’ban. Sebagian mengatakan dengan istilah arwahan, nyekar (sekitar Jawa
Tengah), kosar (sekitar Jawa Timur), munggahan (sekitar tatar Sunda) dan lain
Tradisi Ruwahan,
Nyadranan, Gesik Kubur, dan lain-lain merupakan bentuk akulturasi
budaya-agama. Masyarakat Jawa telah melestarikan turun-temurun tradisi
ini. Dan ini merupakan salah satu metode dakwah Walisongo. Walisongo
mengislamkan nusantara dengan memodifikasi budaya yang tidak sesuai dengan
Islam dirubah supaya sejalan dengan Islam dan memiliki nilai positif.
Nyadran adalah salah satu
prosesi adat Jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan Ruwah (Sya’ban), dari
mulai bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem,
bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Keutamaan amal
pada bulan rajab, sya’ban dilakukan untuk menggapai fadhilah dan menyongsong
bulan ramadhan.
PENILAIAN AMAL BUKAN PADA
NAMANYA
Beberapa amalan Umat Islam
di Jawa yang secara nama masih menggunakan bahasa Jawa namun secara subtansi
telah berubah diisi dengan amalan Islami. Oleh beberapa pihak masih saja
dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan, seperti Nyadran, Megengan, Tingkeban,
Selapan atau lainnya.
Padahal sebagaimana
dikatakan oleh Imam al-Akbar dari al-Azhar, Syaikh Jaad al-Haq menjelaskan:
العبرة فى المحرمات ليست بالأسماء، وإنما
بالمسميات (فتاوى الأزهر – ج 7 / ص 210)
“Penilaian sesuatu yang
diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada subtansi isinya” (Fatawa
al-Azhar 7/210)
Dalam Nyadran atau
Megengan subtansinya adalah ziarah kubur, mendoakan almarhum, membaca ayat
al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, kesemuanya ini adalah ajaran Islam. Secara
syariat amalannya sejalan / tidak bertentangan sehingga tidak haram dilakukan.
TRADISI SEDEKAH MAKANAN
(KENDURI)
Berpijak dari bulan
sya’ban yang istimewa,umat islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan
(memperbanyak sedekah) sehingga bulan sya’ban dinamakan bulan ruwah.
para ulama’ juga
menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada moment-moment yang dianggap
penting yang sedang dihadapi.
Al-imam Al-hafidz
Al-nawawi berkata;
وَقَالَ أَصْحَابُنَا : يُسْتَحَبُ الاِكْثَارُ
مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ الاُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ (شرح المنهاج ٦/٢٣٣
Para ulama’ kami berkata:
disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan penting.
Al-imam ibnu rojab
Al-hambali berkata:
وَلَمَّا كَانَ
شَعْبَانُ كَالْمُقَدِّمَةِ لِرَمَضَانَ شُرِعَ فِيهِ مَا يُشْرَعُ فِيْ رَمَضَانَ
مِنَ الصِّيَامِ وَقِرَأَةُ الْقُرأَنِ لِيَحْصُلَ تَأَهَّبُ لِتَلَقِي رَمَضَانَ
وَتَرْتَاضَ النَّفُوْسُ بِذٰلِكَ عَلىٰ طَاعةِ الرَّحْمٰنِ.رَوَيْنَا بِإسْنَادِ
ضَعِيْفِ عَنْ اَنَاسٍ قَالَ:كَانَ المُسْلِمُوُنَ إِدَا دَخَلَ شَعْبَانُ
اِنْكَبُّوْا عَلٰى الْمَصَاحِفِ فَقَرَؤُوهَا وَأَخْرَجُوا زَكَاةَ اَمْوَالِهِمْ
تَقْوِيَةً لِلضَّعِيفِ وَالْمِسْكِينِ عَلٰى صِيَامِ رَمَضَانَ(الامام الحافظ ِبن
رجب الحنبلى للطائف المعارف.ص ٢٥٨
Ketika bulan sya’ban itu
merupakan pengantar bagi bulan romadhon,maka pada bulan sya’ban dianjurkan
hal-hal yang dianjurkan pada bulan romadhon,seperti berpuasa dan membaca
Al-qur’an sebagai persiapan menghadapi bulan romadhon,dan jiwa menjadi terlatih
untuk taat kepada ALLOH Swt.Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah
dari anas yang berkata:ketika bulan sya’ban tiba,kaum muslimin biasanya
menekuni mushaf dengan membaca Al-qur’an,mereka juga mengeluarkan zakat,harta
benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa
romadhon (ibnu rajab al-hambali latho’if al-ma’arif hlmn 258)
TRADISI ZIARAH KUBUR DIBULAN
SYA’BAN
Pada bulan sya’ban,ada
pula sebagian masyarakat yang melakukan tradisi ziarah kubur yang disebagian
daerah dikenal dengan tradisi “nyadran”. Hal tersebut juga sejalan dengan dalil-dalil
berikut :
Rosululloh juga berziarah
ke makam para sahabat di baqi’ pada malam nishfu sya’ban.
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ
النَّبِيَّ e ذَاتَ لَيْلَةٍ
فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى
السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ
عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِي ذَلِكَ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ
أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ
لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ
ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sayyidah Aisyah berkata “Pada suatu malam, saya
kehilangan Rasulullah. Setelah saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di
Baqi’ seraya menengadahkan kepalanya ke langit, beliau berkata “Apakah kamu
takut Allah dan Rasulnya mengabaikanmu?”. Aisyah berkata “Saya tidak
memiliki ketakutan itu, saya mengira engkau mengunjungi sebagian di antara
istri-istri engkau”. Nabi berkata “Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit
yang paling bawah pada malam Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang
melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb”. (HR Turmudzi no 670, dan Ibnu Majah no 1379)
Rasulallah beserta para
sahabat pula mengadakan ziarah kubur yang sifatnya tahunan, sebagaimana hadits
berikut :
Rasulullah Saw, Khulafa’
al-Rasyidin dan Para Sahabat Rutin Berziarah Tiap Tahun
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ
قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي قُبُوْرَ
الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا
صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 /
306)
“Diriwayatkan dari
Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan
Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan
kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra’d 24). Abu
Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama” (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)
TRADISI SEDEKAH ARWAH
Dalam Nyadran atau
Megengan subtansinya adalah ziarah kubur, mendoakan almarhum, membaca ayat
al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, kesemuanya ini adalah ajaran Islam.
Rasulullah Bersedekah
Makanan Atas Nama Khadijah
قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ فَيَقُولُ أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ
خَدِيجَةَ . قَالَتْ فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا فَقُلْتُ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا (رواه مسلم)
“Aisyah berkata: “Jika
Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata: “Kirimkan daging-daging
ini untuk teman-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di
suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi rezeki mencintainya” (HR Muslim)
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُهُ
مِنْ ذَبْحِ الذَّبِيْحَةِ وَالتَّصَدُّقِ بِهَا عَنْ خَدِيْجَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا بَعْدَ وَفَاتِهَا فَقَالَ: طَبْعًا هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ نَعَمْ
يُؤْخَذُ مِنْهُ اَنَّهُ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ اِمَّا بِلَحْمٍ وَاِمَّا
بِطَعَامٍ وَاِمَّا بِنُقُوْدٍ اَوْ بِمَلاَبِسَ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ
هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ عَنْهُ اَوْ بِاُضْحِيَّةٍ عَنْهُ فِي وَقْتِ
اْلاُضْحِيَّةِ هَذَا كُلُّهُ مِنَ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ يَدْخُلُ فِيْهِ
(فتاوى الاحكام الشرعية رقم 9661)
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallama melakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah
setelah wafatnya (HR Muslim No 4464).
Syaikh berkata: Secara
watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh
bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini
adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah
atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)
Melakukan sedekah untuk
almarhum dapat dilakukan dimana pun, termasuk juga di makam, seperti yang
disampaikan oleh ahli hadis al-Hafidz adz-Dzahabi bahwa seorang ulama bernama
Abu al-Qasim Ismail bin Muhammad yang diberi gelar Qiwam as-Sunnah (penegak
sunah) juga membawa makanan di makam:
وَسَمِعْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ
أَصْحَابِهِ (الْاِمَامِ اَبِي
الْقَاسِمِ) أَنَّهُ كَانَ يُمْلِي ” شَرْحَ مُسْلِمٍ ” عِنْدَ قَبْرِ وَلَدِهِ أَبِي عَبْدِ اللهِ، فَلَمَّا كَانَ خَتْمُ
يَوْمِ الْكِتَابِ عَمِلَ مَأْدَبَةً وَحَلَاوَةً كَثِيْرَةً، وَحُمِلَتْ إِلَى اْلمَقْبَرَةِ
(تاريخ الإسلام للذهبي – ج 8 / ص 195)
Saya dengar lebih dari
satu orang dari muridnya, bahwa Abu al-Qasim menulis Syarah Muslim di dekat
makam anaknya Abu Abdillah. Ketika ia khatam menulis kitab, ia membuat makanan
dan masnisan yang banyak, serta dibawa ke makam (Tarikh al-Islam, 8/195)
ZIARAH KUBUR UNTUK
MENDOAKAN DAN MENYENANGKAN ARWAH MUSLIMIN
Ziarah kubur tidak hanya
sebagai dzikrul maut namun juga untuk mendoakan serta menggembirakan para arwah
muslimin.
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ
كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ
عَلَيْهِ السَّلاَمَ (رواه الخطيب في التاريخ 6 / 137 وابن عساكر 10 / 380 عن أبى هريرة
وسنده جيد ورواه عبد الحق في الأحكام وقال : إسناده صحيح كما في القليوبي)
“Rasulullah
Saw bersabda: Tidak seorangpun yang melewati kuburan temannya yang pernah ia
kenal ketika di dunia dan mengucap salam kepadanya, kecuali ia mengenalnya dan
menjawab salamnya” (HR al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Tarikh VI/137 dan
Ibnu ‘Asakir X/380 dari Abu Hurairah. Dan sanadnya baik, juga diriwayatkan oleh
Abdulhaqq dalam al-Ahkam, ia berkata: Sanadnya sahih)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ
وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ اسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمَ
“Diriwayatkan dari Aisyah,
ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke
makam saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan
menjawabnya hingga meninggalkan tempatnya”
Al-Hafidz al-Iraqi memberi
penilaian terkait status hadis ini:
قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِي أَخْرَجَهُ ابْنُ
أَبِي الدُّنْيَا فِي الْقُبُوْرِ وَفِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَمْعَانَ وَلَمْ
أَقِفْ عَلَى حَالِهِ وَرَوَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ مِنْ
حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ اْلأَشْبِيْلِيِّ
(تخريج أحاديث الإحياء 4 / 216)
“Hadis ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Qubur. Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin
Sam’an, saya tidak mengetahui perilakunya. Hadis yang sama diriwayatkan oleh
Ibnu Abdilbarr dari Ibnu Abbas dan disahihkan oleh Abdulhaqq al-Asybili” (Takhrij
Ahadits al-Ihya IV/216)
Dalam rangka menjalin
hubungan baik dengan saudara muslim baik ketika masih hidup atau sudah
meninggal maka itu salah satu pentingnya ziarah kubur.
KESIMPULAN.
Amalan-amalan sunah yang diselenggarakan terkait bulan Sya’ban (ruwah) walaupun dibingkai dalam istilah lokal jawa (nyadran), namun substansi dan amalnya tidak bertentangan dengan syariat maka perkara tersebut boleh dilakukan. Bahkan tradisi tersebut bila benar dilakukan maka akan menghidupkan amalan sunah dibulan mulia ini.
Amalan-amalan sunah yang diselenggarakan terkait bulan Sya’ban (ruwah) walaupun dibingkai dalam istilah lokal jawa (nyadran), namun substansi dan amalnya tidak bertentangan dengan syariat maka perkara tersebut boleh dilakukan. Bahkan tradisi tersebut bila benar dilakukan maka akan menghidupkan amalan sunah dibulan mulia ini.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar