WALISONGO ADALAH SYURO DA'WAH PARA ULAMA
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, majelis dakwah (syuro da’wah) yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Wali Songo tidak hidup dalam suatu masa. Namun demikian, diantara kesembilan wali ini, mereka semua mempunyai sebuah bentuk ikatan yang amat erat, jika tiada hubungan darah diantara mereka, pasti ada hubungan diantara Guru dan Murid. Bila ada seorang anggota majelis syuro yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari :
1. Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419),
2. Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Maulana Malik Isra'il (wafat 1435),
6. Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435),
7. Maulana Hasanuddin,
8. Maulana 'Aliyuddin,
9. dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari :
1. Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim,
2. Maulana Ishaq (wafat 1463),
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il,
6. Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad
Ali Akbar,
7. Maulana Hasanuddin (wafat 1462),
8. Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462),
9. dan Syekh Subakir (wafat 1463).
Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari :
1. Sunan Ampel,
2. Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465),
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465),
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin,
8. Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin,
dan
9. Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M), terdiri dari :
1. Sunan Ampel (wafat 1481),
2. Sunan Giri (wafat 1505),
3. Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad
Jumadil Kubra,
4. Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti
Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang,
8. Sunan Derajat,
9. dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari :
1. Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat
1517),
2. Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak
iparnya Sunan Giri,
3. Raden Fattah (wafat 1518),
4. Fathullah Khan (Falatehan),
5. Sunan Kudus (wafat 1550),
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang (wafat 1525),
8. Sunan Derajat (wafat 1533), dan
9. Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari :
1. Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan
ayahnya Syekh Siti Jenar,
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan
kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II,
3. Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu
Raden Fattah,
4. Fathullah Khan (wafat 1573),
5. Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan
Kudus,
6. Sunan Gunung Jati (wafat 1569),
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan
kakaknya Sunan Bonang,
8. Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat,
9. dan Sunan Muria (wafat 1551).
Angkatan ke-7 (1546- 1591 M) terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599),
2. Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin
Sunan Demak,
3. Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan
Trenggana,
4. Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573
menggantikan pamannya Fathullah Khan,
5. Sayyid Amir Hasan, Maulana
6. Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan
Gunung Jati,
7. Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan,
8. Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan
Pakuan,
9. dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan
yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari :
1. Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan
Sedayu (wafat 1599),
2. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya
Sunan Prapen,
3. Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan
Sultan Prawoto,
4. Maulana Yusuf,
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin,
7. Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650
menggantikan Sunan Mojoagung,
8. Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650
menggantikan Sunan Cendana,
9. dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
RUJUKAN :
·
Babad Tanah Jawi
·
Mantan Mufti Johor Sayyid
`Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan
tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta:
Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah
Jawi sangking Hadramaut.
·
Al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran
·
'Umdat al-Talib oleh
al-Dawudi
·
Syams al-Zahirah oleh
Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhu
Dalam pertemuannya dengan Sultan Muhammad I (Raja Turki)
saat itu, Sayyid Jumadil Kubro mengusulkan agar Sultan Muhammad I mengundang
beberapa Ulama dari wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang memiliki karomah
besar untuk diajak musyawarah membahas kegiatan dakwah Islam dan
pengembangannya di Pulau Jawa.
Setelah mendengar dan memperhatikan cerita pengalaman dan
temuan Sayyid Jumadil Kubro tentang situasi dan keadaan agama Islam di daerah
Pulau Jawa, Akhirnya disepakati bahwa untuk melakukan kegiatan dakwah ke Pulau
Jawa ditunjuk dan ditugaskan 9 (Sembilan) orang Ulama (Auliya’) dengan berbagai
keahliannya masing-masing.
Sembilan orang itu akan dibagi jadi tiga bagian, Jawa
Timur tiga orang Ulama, Jawa Tengah tiga orang Ulama, Jawa Barat tiga orang
Ulama, dengan masa bhakti satu abad (seratus tahun) apabila terjadi ada yang
wafat atau pindah dari Pulau Jawa harus mengadakan rapat untuk mencari
penggantinya. Kesembilan Ulama tersebut selanjutnya dilembagakan dan ditetapkan
dengan sebutan WALI SONGO yang untuk pertama kalinya beranggotakan Sembilan
Ulama.
Dari
Sembilan Ulama (Wali Songo) generasi pertama ini yang ditunjuk sebagai pemimpin
atau Mufti adalah Maulana malik Ibrahim yang bertempat tinggal di Gresik.
Sembilan
Ulama Wali Songo diberangkatkan oleh Sultan Muhammad I dari Turki ke Pulau Jawa
pada tahun 1404 M dengan mengendarai kapal dagang dan membawa barang dagangan
yang diperkirakan laku diperdagangkan di Pulau Jawa.
Dalam Kitab TARIKHUL AULIA’ karangan Syeikh Maulana
Murodi bin Abdulloh bin Husain bin Ibrohim Al-Asy’ari, Rombongan dakwah ulama
tersebut mulai dari priode yang pertama
sampai yang ke lima semuanya diberi BAYAN HIDAYAH di Masjid Nabawi Madinatul Munawwaroh
al Arobiyyah Saudiyyah, sedangkan rombongan yang seterusnya sudah tidak di
Bayan Hidayah di Masjid Nabawi lagi. Di Kesultanan Demak sudah di dirikan
Masjid Demak yang menjadi Markaz Dewan
Syuro Dakwah.
Banyak sekarang yang meragukan keberadaan walisongo
bahkan menganggapnya sebagai mitos belaka. Padahal banyak fakta sejarahnya,
berupa mentifact (peninggalan tata nilai), Artefact (peninggalan bendawi),
sosiofact (fakta sosial keberadaan sejarah) serta catatan tertulis telah
menunjukkan kebenaran keberadaan walisongo.
Ini sedikit pengalaman pribadi yang bagi saya menguatkan
akan keberadaan walisongo.
Tapi berdasar penuturan kakek saya, bahwa buyut dan canggah saya bukan dari tanah jawa tapi dari hadramaut yang datang ke Jawa (demak) dan menjalankan misi sebagaimana leluhur kami mendakwahkan agama. Dikalangan keluarga besar saya mbah buyut saya mbah kaji dahlan bin abdul qodir kegiatan kesehariannya berpindah-pindah mengikuti rombongan para kyai pindah ke desa-desa mendakwahkan agama, sinambi berdagang untuk bekal dakwahnya. Artinya rombongan dakwah para ulama itu memang diprogramkan dalam program dakwah rutin dan terstruktur
Bahkan di sekitar Njimbung klaten ketika saya keluar bersama rombongan dakwah disana, dikenal ada suatru desa yang namanya GEDOGAN (tempat penambatan kuda/ kandang jaran). Dikenal oleh masyarakatnya asal muasal penamaan desanya (saya sempat tanya) bahwa dinamakan GEDOGAN karena dahulu desa tersebut merupakan tempat persinggahan rombongan dakwah para ulama utusan dari kesultanan Demak, menaiki kudanya dan ditambatkan didesa tersebut sebelum rombongan berjalan kaki dakwah ke desa-desa sekitar. Jadi musyawarah dakwah dan program dakwah yang dimusyawarahkan dari masjid Demak telah dikenal dan dijalankan.
Tapi berdasar penuturan kakek saya, bahwa buyut dan canggah saya bukan dari tanah jawa tapi dari hadramaut yang datang ke Jawa (demak) dan menjalankan misi sebagaimana leluhur kami mendakwahkan agama. Dikalangan keluarga besar saya mbah buyut saya mbah kaji dahlan bin abdul qodir kegiatan kesehariannya berpindah-pindah mengikuti rombongan para kyai pindah ke desa-desa mendakwahkan agama, sinambi berdagang untuk bekal dakwahnya. Artinya rombongan dakwah para ulama itu memang diprogramkan dalam program dakwah rutin dan terstruktur
Bahkan di sekitar Njimbung klaten ketika saya keluar bersama rombongan dakwah disana, dikenal ada suatru desa yang namanya GEDOGAN (tempat penambatan kuda/ kandang jaran). Dikenal oleh masyarakatnya asal muasal penamaan desanya (saya sempat tanya) bahwa dinamakan GEDOGAN karena dahulu desa tersebut merupakan tempat persinggahan rombongan dakwah para ulama utusan dari kesultanan Demak, menaiki kudanya dan ditambatkan didesa tersebut sebelum rombongan berjalan kaki dakwah ke desa-desa sekitar. Jadi musyawarah dakwah dan program dakwah yang dimusyawarahkan dari masjid Demak telah dikenal dan dijalankan.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar