iklan banner

Minggu, 17 Desember 2017

Pengertian TAWASUL



PENGERTIAN TAWASUL

tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara Wasilah adalah media perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain, baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya yang mulia disisi Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).
Macam-Macam Tawassul
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1.      Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2.      Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.
3.      Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4.      Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ  اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan