APLIKASI PIAGAM
MADINAH DALAM KONSTITUSI INDONESIA
Oleh:
KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph D [2]
( Wakil Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PB NU )
PENDAHULUAN
Terdapat
perbedaan krateristik antara ajaran Islam yang berkaitan dengan sistem
kepercayaan dan peribadatan dibanding dengan ajaran yang berkaitan dengan
sistem kemasyaratan dan kenegaraan. Yang pertama bersifat detail, sedangkan
yang kedua pada umumnya hanya berbentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum
saja. Hal ini dimaksudkan betapa penghargaan ajaran agama Islam terhadap kreasi
akal manusia agar selalu berkreasi dan berpikir dengan kerangka nilai dasar
Islam untuk dioprasikan sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban
manusia.
Al
Qur’a al Karim yang merupakan sumber primer dalam ajaran Islam sama sekali
tidak memuat kerangka teknis tentang format bernegara.[3] Harun Nasution[4]
menyatakan bahwa, “baik sistem pemerintahan maupun
pembentukannya tidak ada ayat di dalam al Qur’an yang menyebutnya secara
tegas”. Agar masyarakat tidak terhambat nilai dinamika dan dinamisnya, maka
yang diperlukan adalah prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang melandasi kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa sesuai dengan perkembangan zaman.
Nabi
Muhammad saw. sebagai pembawa misi kenabian dengan bekal wahyu telah bertindak
sesuai dengan kapasitasnya sebagai tokoh agama dan kepala negara. Ia menerima
wahyu yang bersifat nilai-nilai dan prinsip dasar, lalu dikembangkan secara
oprasional kemasyarakatan untuk bertindak tidak hanya sebagai penyebar kalimat
tauhid, sumber hukum dan keteladanan. Akan tetapi lebih dari itu Nabi saw.
mengorganisir masyarakat agar terbentuk komunitas yang mandiri dan berdaulat
dengan ciri ideologi dan teologi yang khas.
Dua
periode besar sejak Nabi Muhammad saw mengemban tugas sebagi nabi dan rasul
sekaligus mulai menerima wahyu pertama di guwa Hira’ (lima ayat pertama surat al
‘Alaq). Pertama, periode Mekkah, selama tiga belas tahun Nabi
Muhammad saw. di kota Mekkah menyebarkan kalimat tauhid melalui dua strategi. Pertama,
Nabi saw. menyebarkan misinya secara sembunyi (sirriyah) tidak berani
menampakan diri kepada publik, hanya dari rumah penduduk ke rumah
lainnya (door to door). Kedua, Nabi Muhammad saw. mendapat
intruksi dari Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan (jahriyah).
Kedua,
periode Madinah, yaitu sejak Nabi Muhammad saw pindah ke Madinah tahun 622 M.
sampai ia wafat. di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera
merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri[5]. D. B. Macdonald
menyatakan bahwa, “Di sini, Madinah telah terbentuk negara Islam pertama dan
telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam”.[6] Dengan
demikian jelas bahwa Islam bukan sekedar kepercayaan dan agama individual,
namun ia meniscayakan suatu bangunan masyarakan yang independen. Islam
mempunyai metode tersendiri dengan sistem pemerintahan, perundang-undangan dan
institusi.
Masyarakat
yang plural dan multi etnis telah diikat oleh Nabi Muhammad saw dengan sebuah
ikatan dan perjanjian tentang hidup beragama, bermasyarakat, berkelompok,
berbangsa dan bernegara. Dengan ikatan yang dikonsep dan menjadi ketetapan Nabi
saw. untuk seluruh kelompok masyarakat Madinah telah mengikat masyarakat dengan
model “kontrak sosial” yang merupakan kesepakatan bersama. Dalam Piagam
Madinah tersebut dapat mengcover seluruh kelompok etnis, suku dan agama
penduduk Madinah.
PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI ISLAM
Piagam
Madinah merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam dalam mencapai
konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural adalah inisiatif dan
ketetapan Nabi Muhammad saw untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia
sebagai umat yang satu (ummat wahidah) .
Yatsrib
adalah nama kuno dari Madinah al Munawwarah, wilayahnya merupakan daerah oasis
penghasil kurma unggul dan gandum, mempunyai tanah yang subur dan air yang
berlimpah serta dikelilingi dari setiap penjurunya oleh batu-batu volkanis
hitam. Ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah keberagamaan masyarakat
lebih heterogen dari pada masyarakat Mekkah. Dua suku besar dan dominan di
Madinah ialah suku Aws dan Khazraj penganut agama nenek moyang mereka
yang menyembah berhala dan mempercayai roh-roh dan benda-benda yang dapat
mendatangkan kebaikan atau nasib sial. Sedangkan orang-orang Yahudi yang tinggal
di Madinah adalah menganut agama Yahudi yang mengajarkan monoteisme. Bahkan
mereka mencela perilku orang-orang Arab yang menganut paganisme.
Di
samping penganut agama Yahudi dan
paganisme ada juga di kalangan bangsa Arab yang menganut agama Masehi
atau agama Kristen. Di Hijaz paling tidak ada dua suku yang menganut agama
Kristen, yaitu suku Judam dan Udhra’. Sementara di antara bangsa Arab ada yang
menganut agama Hanafiyah yang di bawa oleh Nabi Ibrahim as.
Menurut
Hasan Ibrahim Hasan, penduduk Madinah dapat dibagi menjadi tiga golongan besar.
Pertema; kaum Muhajir, mereka adalah kaum imirgran yang eksodus
dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan
agamanya. Kedua; kaum Anshor, mereka adalah penduduk asli Madinah
yang kemudian secara suka rela masuk agama Islam. Mereka adalah suku Awus dan
Khazraj. Ketiga; kaum Yahudi, mereka suku Yahudi atau orang Arab yang
telah masuk Yahudi, kemudian secara berangsur mereka keluar dari Jazirah
Arab[7].
Muhammad
Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda. Pertama,
kaum muslimin, terdiri dari muhajirin dan Ansor.
Kedua,
golongan Awus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat nominal, bahkan
ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw.
Ketiga,
golongan Aws dan Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang
singkat telah menjadi muslim.
Dan
keempat, golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, yaitu Banu
Qaynaqa’, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah[8].
Nabi
Muhammad saw melihat adanya kebutuhan penataan ulang tentang struktur
masyarakat Madinah dalam membangun pola hubungan dan kerjasama sosial, politik,
ekonomi dan agama. Estimasi ini tampak jelas dalam langkah Nabi saw dalam
awal-awal membangun negara Madinah. Yaitu melakukan terjun ke masyarakat untuk
mengikat solidaritas yang dibangun atas ikatan ideologis dan mengubur
fanatisme-fanatisme yang menjadi sejarah konflik di antara penduduk Madinah.
Langkah awalnya adalah konsolidasi internal, antara kaum Muhajirin dengan kaum
Ansor. Kemududian Nabi saw mengkonsolidasi seluruh komunitas di Madinah.
Sebenarnya
benih-benih daulat rakyat kepada Nabi Muhammad saw telah tumbuh pada peristiwa
bai’at al Ula (bai’at al Nisa’, tahun 621 H.) dan bai’at ‘Aqabah (622 H.). Di
mana dalam ikrar bai’at itu selain menyatakan iman kepada misi yang di bawa
oleh Nabi saw juga menyatakan ikrar kesetiaan, ketaatan dan penyerahan
kekuasaan kepada Nabi Muhammad saw. yang didaulat sebagai kepala negara
Dalam
perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijriyah, Nabi saw memperoleh
pengakuan yang legal dan lebih luas di luar intern umat Islam. Dengan strategi
dakwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw dan posisinya sebagai penengah
antara beberapa suku dan kelompok di Madinah serta upaya mempersatukan mereka
dalam wadah kebersamaan, Nabi saw. telah mampu mengikat tali kerjasama antara
kaum Yahudi, Kristen dam kaum muslim di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya
perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara orang-orang muslim Muhajirin dan Ansor
bersama kaum Yahudi dan sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam perjanjian tertulis itu, Nabi saw diakui sebagai pemimpin tertinggi dan
sebagai hakam (penegah) bagi penandatanganan Piagam serta siapa saja
yang bergabung dengan mereka.
Dalam
kajian-kajian ilmu politik ditegaskan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk
mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan
peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta
pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal
tertentu[9].
Upaya
untuk mencapai tujuan negara menurut Charles E. Merriam, negara mempunyai lima
fungsi, yaitu keamanan ekstern, ketertiban intern, kesejahteraan umum,
kebebasan dan keadilan. Menurut Budiardjo, setiap negara apapun bentuknya
mempunyai minimum empat fungsi yang mutlak yang perlu dilaksanakan oleh kepala
negara, yaitu melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama, mencegah
konflik-konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, membangun pertahanan untuk memelihara kemungkinan serangan dari luar,
menegakkan keadilan[10].
Pandangan
para ahli politik Islam tidak berbeda dengan teori politik modern tentang
kriteria kepala negara dan fungsinya. Menurut al Baghdadi, fungsi negara yang
harus dilakukan oleh kepala negara ialah melaksanakan undang-undang dan
peraturan, menegakkan hukum bagi pelanggar hukum, mengorganisir militer, dan
mengelola zakat dan pajak[11]. Menurut al Mawardi, bahwa fungsi negara yang
harus diwujudkan oleh kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan
hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi
musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menentang Islam, memungut pajak dan
zakat, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya, dan kepala
negara harus langsung mengatur urusan umat dan agama, dan meneliti keadaan yang
sebenarnya[12].
Dalam
Piagam Madinah yang hanya dihadiri oleh pemuka suku dan kaum elit dari kalangan
muslim dan non muslim yang masing-masing mewakili warga dan sukunya, namun
dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah.
Setiap suku yang ada di Madinah pada saat itu tercantum dalam teks Piagam.[13]
Para
pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi
perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini
ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks
Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan
Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin
dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum
Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam,
(vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn
‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu
Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Menurut
John Lock, kesepakatan yang didapat melalui perjanjian masyarakat meskipun itu
individu-individu dapat dianggap sebagai tindakan seluruh warga masyarakat, dan
oleh karenanya mewajibkan individu lain mentaati persetujuan tersebut. Ungkapan
ini sejalan dengan teori ashabiyyaat-nya Ibnu Kholdun meskipun tidak
bicara dalan kontek kontrak sosial.
Perjanjian
yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk
Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir,
atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status
naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw.
Di
dalam piagam itu, Menurut Muhammad Jalaluddin Surur, terdapat peraturan bagi
segenap warga negara dan memuat hak dan kewajiban (tugas) semua pihak sebagai
syarat-syarat yang mengakui keberadaan mereka. Muhammad al Ghazali memandang
perjanjian itu bernilai strategis bagi Nabi saw untuk mengembangkan risalahnya
dalam menata hubungan manusia muslim dengan Tuhan dan hubungan sesama umat
Islam di satu sisi serta hubungan umat Islam dengan non muslim di sisi lain. Dalam
pada itu, kaum Yahudi dan penyembah berhala tetap dalam agama dan keyaknan
mereka, dan mereka boleh tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat Madinah[14].
Dalam
Piagam Madinah tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar
negara Islam yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu
masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan[15]. Karena itu, menurut
Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan
dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah, dan teks itu
hasil dari inisiatif Nabi Muhammad saw, bukan dari wahyu[16].
Realitas
sejarah dan komentar para pakar tentang piagam Madinah menunjukkan bahwa Piagam
Madinah adalah sebuah konstitusi pertama dalam Islam yang sangat penting dan
memiliki nilai dan posisi strategis dalam mengantarkan misi Nabi saw untuk
mempersatukan penduduk Madinah yang heterogen dan multi dimensi dalam ikatan
persaudaraan kebersamaan dalam satu negera.
Piagam
Madinah sebagaimana diuraikan di atas adalah outentik, menjadi dasar
negara pertama dalam Islam dan merupakan konstitusi yang mempersatukan semua
golongan penduduk Madinah. Karena di dalamnya memuat prinsip-prinsip umum yang
mengatur tentang hidup bersama antara warga masyarakat yang heterogen dibawah
kepemimpinan Muhammad saw.
Dalam
Mukaddimah Piagam Madinah dan pasal 22, 23, 42 dan akhir pasal 47 mengandung
kensep monoteisme. Makaddimah Piagam Madinah diawali dengan kalimat Bismillahi
al Rahman al Rahim, lalu maklumat bahwa piagam ini dari Muhammad saw yang
hal ini mengandung nilai tauhid. Dalam pasal 22 menyebutkan bahwa orang yang
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir tidak dibenarkan membantu orang lain
untuk membunuh, dan jika ia memberi bantuan akan mendapat kutukan dan kemurkaan
Allah di hari kiamat. Dalam pasal 23 disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan
dikembalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. Dalam akhir pasal 47
menjelaskan bahwa Allah SWT dan Muhammad saw adalah penjamin orang-orang yang
berbuat baik dan takwa. Meskipun tidak secara tegas tertulis kata tauhid, namun
secara implisit menunjukkan adanya prinsip-prinsip monoteisme.
Prinsip
persatuan dan kesatuan sebagaimana termaktub dalam pasal 1, 15, 17, 25. Dalam
pasal 1 menegaskan bahwa masyarakat Madinah adalah satu komunitas. Dalam pasal
15 memuat bahwa jaminan Allah SWT satu, yang sesama mukmin saling membantu.
Dalam pasal 17 menjelaskan kesatuan antar umat Islam dalam perdamaian. Dalam
pasal 25 menjelaskan bahwa seluruh penduduk Madinah, baik Yahudi maupun mukmin
adalah satu rumpun. Perbedaan agama bukan penyebab membedakan anatar mereka.
Dalam pasal-pasal tersebut jelas bahwa antara penduduk Madinah satu tanpa
membedakan etnis atau agama.
Prinsip
persamaan dan keadilan termaktub dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40.
Dalam pasal 13 memuat keadilan dan persamaan dalam rangka membasmi kezaliman
meskipun terhadap anaknya sendiri. Pasal 15 persamaan hak bagi semua orang
mukmin. Pasal 16 persamaan hak bagi orang Yahudi yang mengikuti umat mukmin.
Pasal 22 dan pasal 23 menegaskan persamaan hak bagi umat mukmin dalam menjaga
kesatuan dan semua urusan dikemabalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw.
Pasal 24 menjelaskan persamaan dalam kewajiban antara mukmin dan Yahudi. Pasal
37 menegaskan kesamaan kewajiban bagi kaum mukmin dan Yahudi untuk
menjaga komitmen yang termaktub dalam shahifah. Pasala 40 menegaskan
persamaan hak bagi yang telah mendapat jaminan.
Prinsip
kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam pasal 25 yang menegaskan bahwa
antara Yahudi dan mukmin sebagai warga negara Madinah tidak ada perbedaan.
Mereka bebas memeluk agama yang mereka yakini, bebas memeluk agama dan bebas
memilih keyakinan dan mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kecuali
karena mereka zalim dan jahat.
Prinsip
bela negara termuat dalam pasal 24, 37, 38 dan 44. Dalam pasal 24 kewajiban
mengeluarkan biaya perang dalam rangka bela negara. Dalam pasal 37 dan 38
menegaskan kewajiban warga masyarakat Madinah, baik Yahudi maupun muslim untuk
mengeluarkan biaya dan membela konstitusi. Pasal 40 jaminan bagi warga yang
tidak melakukan pengkhianatan. Semua ini secara tersurat dan tersirat
menegaskan arti bela negara.
SPIRIT PIAGAM MADINAH DALAM UUD 1945.
Pada
masa Nabi saw telah terbentuk sebuah Negara Madinah. Sebab unsur-unsur definisi
sebua negara telah terpenuhi; yaitu population, territory and a government.
Menurut Mac Iver, Negara adalah The state is an association which, acting
through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive
the universal external conditions of social order.[17]
Konsitusi
Madinah telah tercermin dalam konstitusi Indonesia. Bahwa Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar
struktur Negara. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab XI UUD 1945
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Ketentuan
UUD 1945 tersebut bertentangan dengan arah sekularisasi dan teokrasi homogen.
Demokrasi menurut UUD adalah demokrasi Pancasila. Setiap sila dari lima sila,
termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar demokrasi di Indonesia. Oleh
karena itu, Negara tidak memisahkan antara urusan agama dengan Negara. Urusan
agama menjadi urusan resmin Negara seperti telah dibentuk Kementerian Agama.
Maka demokrasi pun tidak lepas dari nilai-nilai agama, tetapi juga buka Negara
agama.
Pengamalan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencakup tanggung jawab bersama dari semua
golongan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus
menerus dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang
kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalam pancasila.[18]
Dari
uraian di atas tampak adanya kesamaan konsep antara Piagam Madinah dengan
Konstitusi Indonesia. Keduanya mengandung konsep kesamaan adanya ikatan agama
dengan negara. Bedanya, ikatan agama Islam dengan Negara Madinah sangat erat
sekali, karena agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yang bertindak
sebagai kepala negara. Ikatan Islam dengan Negara Madinah tampak jelas dalam
hal menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan dan hubungan agama dengan
Negara. Berbeda dengan negara Indonesia yang secara rinci dan eksplisit
mengatur antara hubungan negara dengan agama. Di lihat dari aspek hukum,
Indonesia sangat mirip dengan piagam Madinah karena sumber hukum di Indonesia
menyebut Hukum Islam disamping hukum warisan benda dan hukum adat.
Dari
pembahasan format dan isi konstitusi Madinah dan Indonesia, secara
fenomenologi, tampak bahwa nilai-nilai transendental sangat berpengaruh
terhadap rumusan dan isi keduanya. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa banyak mendasari dan mewarnai kalimat-kalimat isi keduanya.
Kebhinekaan
tercermin dalam konstitusi sebelum Perubahan UUD 1945, ketentuan yang terkait
dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan tertuang dalam jaminan terhadap
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan).Pasca Perubahan UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan
semakin jelas dan kuat, baik berupa hak individu, hak kolektif, maupun terhadap
satuan pemerintahan. Ketentuan UUD 1945 yang menjamin kebhinnekaan dalam bentuk
hak individu diantaranya adalah Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I
Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat (2)
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28E Ayat (3)
menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”.
Khusus
untuk kemerdekaan beragama dan beribadat, adalah jaminan terhadap kebhinnekaan
dalam hal bergama. Hal itu ditegaskan dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat
(1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
ditegaskan bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak beragama
merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Kebebasan
untuk berpegang kepada suatu agama dalam Piagam Madinah juga berlaku bagi
Yahudi Bani al Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al Najjar (pasal 27), Yahudi Bani
Sa’idah (pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), Yahudi Bani Aws (pasal 30),
Yahudi Bani Tsa’labah (pasal 31), Jafnah Bani Tsa’labah (pasal 32), Yahudi Bani
Syutaibah (pasa 33), Mawali Tsa’labah (pasal 34), orang-orang dekat atau teman
kepercayaan kaum Yahudi (pasal 35).
Dasar
toleransi umat beragama dalam Piagam Madinah memiliki kekuatan hukum yang
sangat substansial dan mendasar. Ide Piagam Madinah adalah murni bersifat
islami karena secara derivatif berakar pada nilai al Qur’ar al Karim:
وَلآَ أَناَ عاَبِدٌ ماَعَبَدْتمُ ْ* وَلآَ أَنْتُمْ عاَبِدُوْنَ مآَأَعْبُدُ
* لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنٌ (الكافرون: 4-6)
Artinya:
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah * dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah * Untukmulah agamamu, dan
untukkulah agamaku”. (al Kafirun: 4-6)
Dalam
Piagam Madinah Nabi Muhammad saw. dalam kapasitasnya sebagai nabi dan kepala
negara tidak memaksa untuk mengubah agama. Ia hanya mendakwakan Islam. Soal
konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka.[19] Bahkan Nabi saw
menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan yang ada. Dalam
kaitan ini Fazlur Rahman menyatakan, Piagam itu telah memberi jaminan kebebasan
beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja
sama yang erat dengan kaum muslimin.[20]
Jelas,
menurut penulis bahwa konstitusi Islam pertama yang diperaktekkan oleh Nabi
Muhammad saw. di Madinah adalah negara kota yang multi etnis, kultur dan agama.
Konstitusi tersebut telah memposisikan agama berada dalam negara dan negara
sebagai penjamin kelangsungan umat beragama, menghargai keyakinan dan
keberadaan agama yang plural. Dalam kontek politik perjanjian Madinah adalah
alat untuk hidup bersama dan mendapat kebebasan secara sosial.
KESIMPULAN
Jika
kita mengkaji Piagam Madinah mengenai agama dan hubungannya dengan negara yang
terimplementasi dalam konstitusi yang disepakati bersama oleh masyarakat yang
plural, selayaknya kita dapat menemukan bahwa otoritas negara terhadap
keagamaan masyarakat sebatas menjamin keberlangsungan, kebebasan untuk memilih
dan memeluk agama, mengatur militer serta terpeliharanya perdamaian dalam
kehidupan bersama. Hal ini dapat dilihat dari isi konstitusi yang dirancang
oleh Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul yang sekaligus sebagai kepala
negara.
Nabi
Muhammad saw. mendirikan negara Madinah tidak melebelkan “negara Islam”, tetapi
bersifat umum dan berdasarkan atas kesepakatan masyarakat “kontrak
social”. Hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat
dan resmi. Pluralitas keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus
dilindungi oleh negara. Hal ini juga tercermin dalam UUD 1945 yang mencamtukan
sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Melatakkan agama sebagai sumber nilai
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun negara tidak boleh mencampuri
urusan internal umat beragama.
Kebebasan
beragama adalah keniscayaan yang tidak mungkin terhindarkan. Piagam Madinah dan
UUD 1945 meletakkan kebebasan beragama, melaksanakan keyakinan dijamin oleh
negara. Akan tetapi kebebasan itu ada pada ketaraturan dan tidak boleh
mencidrai keyakinan warga negara lainnya.
Intinya,
pembentukan negara bersifat ijtihadi menuju kemaslahatan umat. Heterogenitas
adalah keniscayaan, tetapi tetap dalam bingkai keteraturan yang taat kepada
hokum dan kesepakatan.
[1]Disampaikan
pada acara Workshop Pengasuh Pesantren se-Indonesia di Pondok Pesantren Al
Hikam II, Depak pada 18-20 November 2011
[2]
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia
[3]
Dalam ajaran Islam, baik dalam al Qur’an maupun as Sunnah sama sekali
tidak menjelaskan dan tidak menetapkan format bernegara. Karena itulah definisi
negara Islam belum bisa dijawab tuntas sampai sekarang, apakah negara Islam itu
adalah negara yang berdasarkan syari’at Islam?, apakah negara yang berdasarkan
keadilan?,apakah negara yang diselenggarakan oleh mayoritas umat Islam ? atau
negara yang penduduknya mayoritas umat Islam? Al ‘Asymawi, al Fiqh as
Siyasi, (Kairo: “Arabiyah li al Thiba’ah wa al nasyr, 1992), cet. Ke-2 h.
91-92.
[4]
Lihat Harun Nasution, “Islam dan Sistem Pemerintahan
Sebagai yang Berkembang dalam Sejarah” dalam studia Islamika, Nomor 17
Tahun VIII, (Juli 1985), LP IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, h. 11 - 12
[5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet. Ke-V, Jilid I, h. 92-93
[6]
Muhammad Dhiauddi Rais, “An Nadzriyaat as Siyasah al Islamiyah”,
diterjemahkan oleh Abd. Hayyi al Kattani dkk, “ Teori Politik Islam”,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet. Pertama hlm.6. dikutip dari D.B
Macdonald, Developmen of Muslim Theology, Jurisprudence and Constititional
Theory, (New york, 1903), h. 67
[7]
Ibid.
[8]
Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad seal of of the prophet, (London,
1980 M.), h. 88 dikutip oleh J Suyutu Pulungan, Loc. Cit., h 55.
[9]
G.S. Diponolo, Ilmu Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), Jilid
I, h.55.
[10]
Budiadjo, Loc. Cit., h. 45-46.
[11]
Dikutip dari J. Suyuthi pulungan, Loc. Cit., h. 76.
[12]
Al Mawardi, al Ahkan al Sulthoniyah, (Bairut: Dar al Fikr, t.
th.), h. 15-16
[13]
J. Suyuthi Pulungan, Loc. Cit., h. 71.
[14]
Muhammad al Ghazali, Fiqh Al Sirah, (al Qahirah, 1953), h. 143-144
[15]
Muhammad Khalid, Khatamun Nabiyyiin, Loc. Cit., h. 116
[16]
H.A.R. Gibb, Muhammadanism, A Historical Survey, (London:
University press, 1949), h. 43
[17]
R.M. Mac Iver, The Modern State, London: Oxford University Press, 1947,
h. 22
[18]
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, Bab IV Pola Umum Peita
kelima, Angka 5a
[19]
Prof. Dr. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: UI Press, 1995) cet, I, h. 53.
[20]
Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Drs. Senoaji Saleh, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987) cet. I, h. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar