iklan banner

Kamis, 07 Desember 2017

APLIKASI PIAGAM MADINAH DALAM KONSTITUSI INDONESIA



APLIKASI PIAGAM MADINAH DALAM KONSTITUSI INDONESIA

Oleh: KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph D [2]
(  Wakil Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PB NU )

PENDAHULUAN

Terdapat perbedaan krateristik antara ajaran Islam yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan peribadatan dibanding dengan ajaran yang berkaitan dengan sistem kemasyaratan dan kenegaraan. Yang pertama bersifat detail, sedangkan yang kedua pada umumnya hanya berbentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja. Hal ini dimaksudkan betapa penghargaan ajaran agama Islam terhadap kreasi akal manusia agar selalu berkreasi dan berpikir dengan kerangka nilai dasar Islam untuk dioprasikan sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.       

Al Qur’a al Karim yang merupakan sumber primer dalam ajaran Islam sama sekali tidak memuat kerangka teknis tentang format bernegara.[3] Harun Nasution[4] menyatakan bahwa,  “baik  sistem  pemerintahan  maupun pembentukannya tidak ada ayat di dalam al Qur’an yang menyebutnya secara tegas”. Agar masyarakat tidak terhambat nilai dinamika dan dinamisnya, maka yang diperlukan adalah prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sesuai dengan perkembangan zaman.

Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa misi kenabian  dengan bekal wahyu telah bertindak sesuai dengan kapasitasnya sebagai tokoh agama dan kepala negara. Ia menerima wahyu yang bersifat nilai-nilai dan prinsip dasar, lalu dikembangkan secara oprasional kemasyarakatan untuk bertindak tidak hanya sebagai penyebar kalimat tauhid, sumber hukum dan keteladanan. Akan tetapi lebih dari itu Nabi saw. mengorganisir masyarakat agar terbentuk komunitas yang mandiri dan berdaulat dengan ciri ideologi dan teologi yang khas.

Dua periode besar sejak Nabi Muhammad saw mengemban tugas sebagi nabi dan rasul sekaligus mulai menerima wahyu pertama di guwa Hira’ (lima ayat pertama surat al ‘Alaq).  Pertama, periode Mekkah, selama tiga belas tahun Nabi Muhammad saw. di kota Mekkah menyebarkan kalimat tauhid melalui dua strategi. Pertama, Nabi saw. menyebarkan misinya secara sembunyi (sirriyah) tidak berani menampakan diri  kepada publik, hanya dari rumah penduduk ke rumah lainnya  (door to door). Kedua, Nabi Muhammad saw. mendapat intruksi dari Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan (jahriyah).

Kedua, periode Madinah, yaitu sejak Nabi Muhammad saw pindah ke Madinah tahun 622 M. sampai ia wafat. di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri[5]. D. B. Macdonald  menyatakan bahwa, “Di sini, Madinah telah terbentuk negara Islam pertama dan telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam”.[6] Dengan demikian jelas bahwa Islam bukan sekedar kepercayaan dan agama individual, namun ia meniscayakan suatu bangunan masyarakan yang independen. Islam mempunyai metode tersendiri dengan sistem pemerintahan, perundang-undangan dan institusi.

Masyarakat yang plural dan multi etnis telah diikat oleh Nabi Muhammad saw dengan sebuah ikatan dan perjanjian tentang hidup beragama, bermasyarakat, berkelompok, berbangsa dan bernegara. Dengan ikatan yang dikonsep dan menjadi ketetapan Nabi saw. untuk seluruh kelompok masyarakat Madinah telah mengikat masyarakat dengan model “kontrak sosial” yang merupakan kesepakatan bersama.  Dalam Piagam Madinah tersebut dapat mengcover seluruh kelompok etnis, suku dan agama penduduk Madinah.

PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI ISLAM

Piagam Madinah merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam dalam mencapai konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural adalah inisiatif dan ketetapan Nabi Muhammad saw untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidah) .

Yatsrib adalah nama kuno dari Madinah al Munawwarah, wilayahnya merupakan daerah oasis penghasil kurma unggul dan gandum, mempunyai tanah yang subur dan air yang berlimpah serta dikelilingi dari setiap penjurunya oleh batu-batu volkanis hitam. Ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah keberagamaan masyarakat lebih heterogen dari pada masyarakat Mekkah. Dua suku besar dan dominan di Madinah ialah suku Aws dan Khazraj  penganut agama nenek moyang mereka yang menyembah berhala dan mempercayai roh-roh dan benda-benda yang dapat mendatangkan kebaikan atau nasib sial. Sedangkan orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah adalah menganut agama Yahudi yang mengajarkan monoteisme. Bahkan mereka mencela perilku orang-orang Arab yang menganut paganisme.

Di  samping  penganut  agama  Yahudi  dan  paganisme  ada juga di kalangan  bangsa Arab yang menganut agama Masehi atau agama Kristen. Di Hijaz paling tidak ada dua suku yang menganut agama Kristen, yaitu suku Judam dan Udhra’. Sementara di antara bangsa Arab ada yang menganut agama Hanafiyah yang di bawa oleh Nabi Ibrahim as.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, penduduk Madinah dapat dibagi menjadi tiga golongan besar. Pertema; kaum Muhajir, mereka adalah kaum imirgran yang  eksodus dari  Mekkah  ke Madinah  untuk  menyelamatkan  agamanya.  Kedua; kaum Anshor, mereka adalah penduduk asli Madinah yang kemudian secara suka rela masuk agama Islam. Mereka adalah suku Awus dan Khazraj. Ketiga; kaum Yahudi, mereka suku Yahudi atau orang Arab yang telah masuk Yahudi, kemudian secara berangsur mereka keluar dari Jazirah Arab[7].

Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda. Pertama, kaum muslimin, terdiri dari muhajirin dan Ansor.
Kedua, golongan Awus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw.
Ketiga, golongan Aws dan Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat telah menjadi muslim.
Dan keempat, golongan Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, yaitu Banu Qaynaqa’, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah[8].

Nabi Muhammad saw melihat adanya kebutuhan penataan ulang tentang struktur masyarakat Madinah dalam membangun pola hubungan dan kerjasama sosial, politik, ekonomi dan agama. Estimasi ini tampak jelas dalam langkah Nabi saw  dalam awal-awal membangun negara Madinah. Yaitu melakukan terjun ke masyarakat untuk mengikat solidaritas yang dibangun atas ikatan ideologis dan mengubur fanatisme-fanatisme yang menjadi sejarah konflik di antara penduduk Madinah. Langkah awalnya adalah konsolidasi internal, antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansor. Kemududian Nabi saw mengkonsolidasi seluruh komunitas di Madinah.

Sebenarnya benih-benih daulat rakyat kepada Nabi Muhammad saw telah tumbuh pada peristiwa bai’at al Ula (bai’at al Nisa’, tahun 621 H.) dan bai’at ‘Aqabah (622 H.). Di mana dalam ikrar bai’at itu selain menyatakan iman kepada misi yang di bawa oleh Nabi saw juga menyatakan ikrar kesetiaan, ketaatan dan penyerahan kekuasaan kepada Nabi Muhammad saw. yang didaulat sebagai kepala negara

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijriyah, Nabi saw memperoleh pengakuan yang legal dan lebih luas di luar intern umat Islam. Dengan strategi dakwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw dan posisinya sebagai penengah antara beberapa suku dan kelompok di Madinah serta upaya mempersatukan mereka dalam wadah kebersamaan, Nabi saw. telah mampu mengikat tali kerjasama antara kaum Yahudi, Kristen dam kaum muslim di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara orang-orang muslim Muhajirin dan Ansor bersama kaum Yahudi dan sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad saw. Dalam perjanjian tertulis itu, Nabi saw diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hakam (penegah) bagi penandatanganan Piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka.

Dalam kajian-kajian ilmu politik ditegaskan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu[9]. 

Upaya untuk mencapai tujuan negara menurut Charles E. Merriam, negara mempunyai lima fungsi, yaitu keamanan ekstern, ketertiban intern, kesejahteraan umum, kebebasan dan keadilan. Menurut Budiardjo, setiap negara apapun bentuknya mempunyai minimum empat fungsi yang mutlak yang perlu dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama, mencegah konflik-konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, membangun pertahanan untuk memelihara kemungkinan serangan dari luar, menegakkan keadilan[10].

Pandangan para ahli politik Islam tidak berbeda dengan teori politik modern tentang kriteria kepala negara dan fungsinya. Menurut al Baghdadi, fungsi negara yang harus dilakukan oleh kepala negara ialah melaksanakan undang-undang dan peraturan, menegakkan hukum bagi pelanggar hukum, mengorganisir militer, dan mengelola zakat dan pajak[11]. Menurut al Mawardi, bahwa fungsi negara yang harus diwujudkan oleh kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menentang Islam, memungut pajak dan zakat, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya, dan kepala negara harus langsung mengatur urusan umat dan agama, dan meneliti keadaan yang sebenarnya[12].

Dalam Piagam Madinah yang hanya dihadiri oleh pemuka suku dan kaum elit dari kalangan muslim dan non muslim yang masing-masing mewakili warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah. Setiap suku yang ada di Madinah pada saat itu tercantum dalam teks Piagam.[13]

Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.

Menurut John Lock, kesepakatan yang didapat melalui perjanjian masyarakat meskipun itu individu-individu dapat dianggap sebagai tindakan seluruh warga masyarakat, dan oleh karenanya mewajibkan individu lain mentaati persetujuan tersebut. Ungkapan ini sejalan dengan teori ashabiyyaat-nya Ibnu Kholdun meskipun tidak bicara dalan kontek kontrak sosial.

Perjanjian yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir, atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw.
Di dalam piagam itu, Menurut Muhammad Jalaluddin Surur, terdapat peraturan bagi segenap warga negara dan memuat hak dan kewajiban (tugas) semua pihak sebagai syarat-syarat yang mengakui keberadaan mereka. Muhammad al Ghazali memandang perjanjian itu bernilai strategis bagi Nabi saw untuk mengembangkan risalahnya dalam menata hubungan manusia muslim dengan Tuhan dan hubungan sesama umat Islam di satu sisi serta hubungan umat Islam dengan non muslim di sisi lain. Dalam pada itu, kaum Yahudi dan penyembah berhala tetap dalam agama dan keyaknan mereka, dan mereka boleh tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat Madinah[14].

Dalam Piagam Madinah tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar negara Islam yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan[15].  Karena itu, menurut Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah, dan teks itu hasil dari inisiatif Nabi Muhammad saw, bukan dari wahyu[16].

Realitas sejarah dan komentar para pakar tentang piagam Madinah menunjukkan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi pertama dalam Islam yang sangat penting dan memiliki nilai dan posisi strategis dalam mengantarkan misi Nabi saw untuk mempersatukan penduduk Madinah yang heterogen dan multi dimensi dalam ikatan persaudaraan kebersamaan dalam satu negera.

Piagam Madinah sebagaimana diuraikan di atas adalah outentik, menjadi  dasar negara pertama dalam Islam dan merupakan konstitusi yang mempersatukan semua golongan penduduk Madinah. Karena di dalamnya memuat prinsip-prinsip umum yang mengatur tentang hidup bersama antara warga masyarakat yang heterogen dibawah kepemimpinan Muhammad saw.

Dalam Mukaddimah Piagam Madinah dan pasal 22, 23, 42 dan akhir pasal 47 mengandung kensep monoteisme. Makaddimah Piagam Madinah diawali dengan kalimat Bismillahi al Rahman al Rahim, lalu maklumat bahwa piagam ini dari Muhammad saw yang hal ini mengandung nilai tauhid. Dalam pasal 22 menyebutkan bahwa orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir tidak dibenarkan membantu orang lain untuk membunuh, dan jika ia memberi bantuan akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat. Dalam pasal 23 disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan dikembalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. Dalam akhir pasal 47  menjelaskan bahwa Allah SWT dan Muhammad saw adalah penjamin orang-orang yang berbuat baik dan takwa. Meskipun tidak secara tegas tertulis kata tauhid, namun secara implisit menunjukkan adanya prinsip-prinsip monoteisme.

Prinsip persatuan dan kesatuan sebagaimana termaktub dalam pasal 1, 15, 17, 25. Dalam pasal 1 menegaskan bahwa masyarakat Madinah adalah satu komunitas. Dalam pasal 15 memuat bahwa jaminan Allah SWT satu, yang sesama mukmin saling membantu. Dalam pasal 17 menjelaskan kesatuan antar umat Islam dalam perdamaian. Dalam pasal 25 menjelaskan bahwa seluruh penduduk Madinah, baik Yahudi maupun mukmin adalah satu rumpun. Perbedaan agama bukan penyebab membedakan anatar mereka. Dalam pasal-pasal tersebut jelas bahwa antara penduduk Madinah satu tanpa membedakan etnis atau agama.

Prinsip persamaan dan keadilan termaktub dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40. Dalam pasal 13 memuat keadilan dan persamaan dalam rangka membasmi kezaliman meskipun terhadap anaknya sendiri. Pasal 15 persamaan hak bagi semua orang mukmin. Pasal 16 persamaan hak bagi orang Yahudi yang mengikuti umat mukmin. Pasal 22 dan pasal 23 menegaskan persamaan hak bagi umat mukmin dalam menjaga kesatuan dan semua urusan dikemabalikan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. Pasal 24 menjelaskan persamaan dalam kewajiban antara mukmin dan Yahudi. Pasal 37  menegaskan kesamaan kewajiban bagi kaum mukmin dan Yahudi untuk menjaga komitmen yang termaktub dalam shahifah. Pasala 40 menegaskan persamaan hak bagi yang telah mendapat jaminan.

Prinsip kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam pasal 25 yang menegaskan bahwa antara Yahudi dan mukmin sebagai warga negara Madinah tidak ada perbedaan. Mereka bebas memeluk agama yang mereka yakini, bebas memeluk agama dan bebas memilih keyakinan dan mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kecuali karena mereka zalim dan jahat.

Prinsip bela negara termuat dalam pasal 24, 37, 38 dan 44. Dalam pasal 24 kewajiban mengeluarkan biaya perang dalam rangka bela negara. Dalam pasal 37 dan 38 menegaskan kewajiban warga masyarakat Madinah, baik Yahudi maupun muslim untuk mengeluarkan biaya dan membela konstitusi. Pasal 40 jaminan bagi warga yang tidak melakukan pengkhianatan. Semua ini secara tersurat dan tersirat menegaskan arti bela negara.

SPIRIT PIAGAM MADINAH DALAM UUD 1945.

Pada masa Nabi saw telah terbentuk sebuah Negara Madinah. Sebab unsur-unsur definisi sebua negara telah terpenuhi; yaitu population, territory and a government. Menurut Mac Iver, Negara adalah The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive the universal external conditions of social order.[17]

Konsitusi Madinah telah tercermin dalam konstitusi Indonesia. Bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar struktur Negara. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab XI UUD 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Ketentuan UUD 1945 tersebut bertentangan dengan arah sekularisasi dan teokrasi homogen. Demokrasi menurut UUD adalah demokrasi Pancasila. Setiap sila dari lima sila, termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, Negara tidak memisahkan antara urusan agama dengan Negara. Urusan agama menjadi urusan resmin Negara seperti telah dibentuk Kementerian Agama. Maka demokrasi pun tidak lepas dari nilai-nilai agama, tetapi juga buka Negara agama.

Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencakup tanggung jawab bersama dari semua golongan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus menerus dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalam pancasila.[18]

Dari uraian di atas tampak adanya kesamaan konsep antara Piagam Madinah dengan Konstitusi Indonesia. Keduanya mengandung konsep kesamaan adanya ikatan agama dengan negara. Bedanya, ikatan agama Islam dengan Negara Madinah sangat erat sekali, karena agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yang bertindak sebagai kepala negara. Ikatan Islam dengan Negara Madinah tampak jelas dalam hal menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan dan hubungan agama dengan Negara. Berbeda dengan negara Indonesia yang secara rinci dan eksplisit mengatur antara hubungan negara dengan agama. Di lihat dari aspek hukum, Indonesia sangat mirip dengan piagam Madinah karena sumber hukum di Indonesia menyebut Hukum Islam disamping hukum warisan benda dan hukum adat.

Dari pembahasan format dan isi konstitusi Madinah dan Indonesia, secara fenomenologi, tampak bahwa nilai-nilai transendental sangat berpengaruh terhadap rumusan dan isi keduanya. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak mendasari dan mewarnai kalimat-kalimat isi keduanya.

Kebhinekaan tercermin dalam konstitusi sebelum Perubahan UUD 1945, ketentuan yang terkait dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan tertuang dalam jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan).Pasca Perubahan UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan semakin jelas dan kuat, baik berupa hak individu, hak kolektif, maupun terhadap satuan pemerintahan. Ketentuan UUD 1945 yang menjamin kebhinnekaan dalam bentuk hak individu diantaranya adalah Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani­nya. Pasal 28E Ayat (3) menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan  perlindungan  terhadap  perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Khusus untuk kemerdekaan beragama dan beribadat, adalah jaminan terhadap kebhinnekaan dalam hal bergama. Hal itu ditegaskan dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Kebebasan untuk berpegang kepada suatu agama dalam Piagam Madinah juga berlaku bagi Yahudi Bani al Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al Najjar (pasal 27), Yahudi Bani Sa’idah (pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), Yahudi Bani Aws (pasal 30), Yahudi Bani Tsa’labah (pasal 31), Jafnah Bani Tsa’labah (pasal 32), Yahudi Bani Syutaibah (pasa 33), Mawali Tsa’labah (pasal 34), orang-orang dekat atau teman kepercayaan kaum Yahudi (pasal 35).

Dasar toleransi umat beragama dalam Piagam Madinah memiliki kekuatan hukum yang sangat substansial dan mendasar. Ide Piagam Madinah adalah murni bersifat islami karena secara derivatif berakar pada nilai al Qur’ar al Karim:
وَلآَ أَناَ عاَبِدٌ ماَعَبَدْتمُ ْ* وَلآَ أَنْتُمْ عاَبِدُوْنَ مآَأَعْبُدُ * لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنٌ  (الكافرون: 4-6)
Artinya: “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah * dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah * Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. (al Kafirun: 4-6)


Dalam Piagam Madinah Nabi Muhammad saw. dalam kapasitasnya sebagai nabi dan kepala negara tidak memaksa untuk mengubah agama. Ia hanya mendakwakan Islam. Soal konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka.[19] Bahkan Nabi saw menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan yang ada. Dalam kaitan ini Fazlur Rahman menyatakan, Piagam itu telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama  yang erat dengan kaum muslimin.[20] 

Jelas, menurut penulis bahwa konstitusi Islam pertama yang diperaktekkan oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah adalah negara kota yang multi etnis, kultur dan agama. Konstitusi tersebut telah memposisikan agama berada dalam negara dan negara sebagai penjamin kelangsungan umat beragama, menghargai keyakinan dan keberadaan agama yang plural. Dalam kontek politik perjanjian Madinah adalah alat untuk hidup bersama dan mendapat kebebasan secara sosial.

KESIMPULAN

Jika kita mengkaji Piagam Madinah mengenai agama dan hubungannya dengan negara yang terimplementasi dalam konstitusi yang disepakati bersama oleh masyarakat yang plural, selayaknya kita dapat menemukan bahwa otoritas negara terhadap keagamaan masyarakat sebatas menjamin keberlangsungan, kebebasan untuk memilih dan memeluk agama, mengatur militer serta terpeliharanya perdamaian dalam kehidupan bersama. Hal ini dapat dilihat dari isi konstitusi yang dirancang oleh Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul yang sekaligus sebagai kepala negara.

Nabi Muhammad saw. mendirikan negara Madinah tidak melebelkan “negara Islam”, tetapi bersifat umum dan berdasarkan atas kesepakatan masyarakat “kontrak social”.  Hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat dan resmi.  Pluralitas keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus dilindungi oleh negara. Hal ini juga tercermin dalam UUD 1945 yang mencamtukan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Melatakkan agama sebagai sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun negara tidak boleh mencampuri urusan internal umat beragama.

Kebebasan beragama adalah keniscayaan yang tidak mungkin terhindarkan. Piagam Madinah dan UUD 1945 meletakkan kebebasan beragama, melaksanakan keyakinan dijamin oleh negara. Akan tetapi kebebasan itu ada pada ketaraturan dan tidak boleh mencidrai keyakinan warga negara lainnya.

Intinya, pembentukan negara bersifat ijtihadi menuju kemaslahatan umat. Heterogenitas adalah keniscayaan, tetapi tetap dalam bingkai keteraturan yang taat kepada hokum dan kesepakatan.


[1]Disampaikan pada acara Workshop Pengasuh Pesantren se-Indonesia di Pondok Pesantren Al Hikam II, Depak pada 18-20 November 2011

[2] Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia

[3]  Dalam ajaran Islam, baik dalam al Qur’an maupun as Sunnah sama sekali tidak menjelaskan dan tidak menetapkan format bernegara. Karena itulah definisi negara Islam belum bisa dijawab tuntas sampai sekarang, apakah negara Islam itu adalah negara yang berdasarkan syari’at Islam?, apakah negara yang berdasarkan keadilan?,apakah negara yang diselenggarakan oleh mayoritas umat Islam ? atau negara yang penduduknya mayoritas umat Islam?  Al ‘Asymawi, al Fiqh as Siyasi, (Kairo: “Arabiyah li al Thiba’ah wa al nasyr, 1992), cet. Ke-2 h. 91-92.

[4]   Lihat  Harun Nasution, “Islam dan Sistem Pemerintahan Sebagai yang Berkembang dalam Sejarah” dalam studia Islamika, Nomor 17 Tahun VIII, (Juli 1985), LP IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, h. 11 - 12

[5]  Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet. Ke-V, Jilid I, h. 92-93

[6]  Muhammad Dhiauddi Rais, “An Nadzriyaat as Siyasah al Islamiyah”, diterjemahkan oleh Abd. Hayyi al Kattani dkk, “ Teori Politik Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet. Pertama hlm.6. dikutip dari D.B Macdonald, Developmen of Muslim Theology, Jurisprudence and Constititional Theory, (New york, 1903), h. 67

[7]  Ibid.

[8]  Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad seal of of the prophet, (London, 1980 M.), h. 88 dikutip oleh  J Suyutu Pulungan, Loc. Cit., h 55.

[9]  G.S. Diponolo, Ilmu Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), Jilid I, h.55.

[10]  Budiadjo, Loc. Cit., h. 45-46.

[11]  Dikutip dari J. Suyuthi pulungan, Loc. Cit., h. 76.

[12]  Al Mawardi, al Ahkan al Sulthoniyah, (Bairut: Dar al Fikr, t. th.), h. 15-16

[13]  J. Suyuthi Pulungan, Loc. Cit.,  h. 71.

[14]  Muhammad al Ghazali, Fiqh Al Sirah, (al Qahirah, 1953), h. 143-144

[15]  Muhammad Khalid, Khatamun Nabiyyiin, Loc. Cit., h. 116

[16]  H.A.R. Gibb, Muhammadanism, A Historical Survey, (London: University press, 1949), h. 43

  [17]  R.M. Mac Iver, The Modern State, London: Oxford University Press, 1947, h. 22

[18] Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, Bab IV Pola Umum Peita kelima, Angka 5a

[19]  Prof. Dr. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UI Press, 1995) cet, I, h. 53.

[20]  Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Drs. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) cet. I, h. 12.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan