iklan banner

Rabu, 27 Desember 2017

MAKSUD DAKWAH



MAKSUD DAKWAH

Maksud dakwah adalah ISLAH DIRI, usaha untuk memperbaiki diri lebih baik dan agar agama bisa wujud pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Ketika dakwah ditujukan untuk memperbaiki orang lain maka yang ternampak keagungan diri maka akan menjadikan pintu iblis merasukkan sifatnya pada diri.

Ketika dakwah ditujukan untuk menebar kebencian dan aib maka akan merasuk dhulumat kedalam diri, sehingga padam nur keshalehan akan memerangkap diri dalam kehinaan.

Ketika Dakwah ditujukan untuk mencari kedudukan dan kekayaan dunia maka akan tercabut kehebatan islam.

Dari Abu Hurairah r.a berkata,Rasulullah saw bersabda ,”Apabila umatku sudah mengagungkan dunia,maka akan tercabut darinya kehebatan Islam,dan jika mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar,maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu ,dan apabila umatku saling menghina ,maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah.”(H.R.Hakim,Tirmidzi-Durrul Mantsur)

Wallahu a’lam




Minggu, 17 Desember 2017

Pengertian TAWASUL



PENGERTIAN TAWASUL

tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara Wasilah adalah media perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain, baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya yang mulia disisi Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).
Macam-Macam Tawassul
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1.      Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2.      Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.
3.      Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4.      Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya  yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ  اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Jumat, 15 Desember 2017

TABARUK KEPADA ORANG SHOLEH



TABARUK (NGALAP BERKAH ) TERHADAP KIAI ATAU ORANG SHOLEH

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Keberkahan itu terdapat pada orang-orang yang lebih tua (lebih berilmu) dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban)

Bertabaruk kepada Rasulullah SAW sudah sangat jelas tuntunanya dalam hadits. Bahkan beberapa sahabat telah mencontohkan berbagai cara untuk bertabaruk kepada Rasulullah SAW.

Ada beberapa hadits yang menjelaskan sifat dan macam-macam tabaruk sahabat kepada Rasul SAW. Ada sahabat yang bertabaruk dengan tubuh Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah (HR Bukhari-Muslim), rambut Rasul sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Thalhah (HR Muslim), liur Rasul sebagaimana dilakukan Asma binti Abu Bakar (HR Bukhari-Muslim), keringat Rasul sebagaimana yang dilakukan Ummu Salim dan hal itu diafirmasi kebenarannya oleh Rasul (HR Muslim), bahkan barang-barang yang pernah disentuh Rasul pun dijadikan tabaruk oleh sahabat, salah satunya adalah minuman (HR Bukhari dalam Kitab Al-Asyribah).

Tetapi, bolehkah kita menggunakan cara tabaruk yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah SAW dengan tabaruk kita kepada para kiai dan guru-guru kita? Apakah bisa disamakan antara bertabaruk dengan Rasulullah SAW dan bertabaruk (ngalap berkah) dengan orang saleh zaman sekarang seperti kiai? Mengingat derajat antara kiai dan Nabi sangat berbeda jauh.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa hadits-hadits di atas merupakan dalil kebolehan untuk tabarruk dengan bekas orang saleh. Tentunya kiai juga merupakan orang saleh. Sah-sah saja kita untuk bertabaruk kepada para kiai sebagaimana para sahabat bertabaruk kepada Rasulullah SAW.

Bahkan Ibnu Hibban dalam Sahih-nya membuat dua bab khusus yang menjelaskan kebolehan bertabaruk dengan orang saleh dan ahli ilmu. Dua bab itu adalah

ذِكْرُ مَا يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْءِ التَّبَرُّكُ بِالصَّالِحِينَ، وَأَشْبَاهِهِمْ
Artinya, “Bab menjelaskan kesunahan bagi seseorang untuk bertabaruk dengan orang saleh dan orang yang serupa dengan orang saleh.”

ذِكْرُ إِبَاحَةِ التَّبَرُّكِ بِوَضُوءٍ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانُوا مُتَّبِعِينَ لَسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya, “Bab menjelaskan tentang kebolehan bertabaruk dengan wudhunya orang saleh yang merupakan bagian dari ahli ilmu jika mereka mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah.”

Dari dua bab di atas, Ibnu Hibban ingin menyebutkan bahwa bertabaruk seperti yang dilakukan oleh para sahabat kepada Rasul itu boleh dilakukan oleh orang lain kepada orang yang saleh asalkan orang tersebut menjalankan sunah-sunah Rasulullah SAW.

Ibnu Hibban dalam bab pertama yang saya sebutkan menjelaskan sebuah hadits tentang anjuran Rasul untuk bertabaruk kepada orang yang lebih tua.

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

Artinya, “Keberkahan itu terdapat pada orang-orang yang lebih tua (lebih berilmu) dari kalian.”

Hadits di atas dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak alas Sahihain-nya dan menyatakan bahwa hadits di atas sahih sesuai dengan syarat Bukhari.

Makna lebih tua dalam hadits di atas bukan cukup lebih tua secara umur akan tetapi lebih ahli secara ilmu. Jika ada anak kecil yang lebih berilmu dan mumpuni, maka anak kecil tersebut juga termasuk akabir dalam hadits di atas. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Minawi dalam kitab Faidhul Qadir-nya.

Dalam prespektif Ibnu Hibban ini, tentu seorang kiai yang setiap harinya mengajarkan agama dan ilmu-ilmu keislaman kepada para santrinya bisa dikategorikan sebagai orang saleh yang mengikuti sunah Rasul. Dan bukan haram, bidah, bahkan musyrik untuk ngalap barakah kepadanya.

Memang beberapa ulama mengatakan bahwa tabaruk yang dilakukan sahabat kepada Rasul itu tidak bisa disamakan dengan bertabaruk kepada orang saleh lain selain Rasul. Pendapat ulama ini bertujuan untuk berhati-hati agar tidak terjadi perbuatan syirik dan ghuluw (perbuatan kelewat batas). Jika tidak terjadi demikian ketika bertabaruk kepada orang saleh yang lain seperti kiai, maka hal itu tentu diperbolehkan.

Wallahu a’lam.

Selasa, 12 Desember 2017

DOA AGAR TERHINDAR DARI MUSIBAH / KEMATIAN YANG MENDADAK



 DOA AGAR TERHINDAR DARI MUSIBAH / KEMATIAN YANG MENDADAK

Suatu ketika putera sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu bernama Aban bin Ustman rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang di dalamnya terdapat doa untuk memohon perlindungan Allah Ta’ala agar tidak tertimpa musibah yang datang secara mengejutkan. Doa tersebut berbunyi sebagai berikut:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ
فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
 ‘BISMILLAAHIL LADZII LAA YADLURRU MA’AS MIHI SYAI’UN FIL ARDLI WALA FIS SAMAA’WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIIM’

(dengan nama Allah, dengan nama-Nya tidak akan berbahaya sesuatu yang ada di bumi maupun yang ada di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menganjurkan agar doa tersebut dibaca sebanyak tiga kali di waktu pagi dan tiga kali di waktu sore. Barangsiapa membacanya dengan rajin seperti itu, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjanjikan bahwa orang itu tidak akan terkena musibah yang datang secara tiba-tiba. Bacaan di waktu pagi akan melindunginya hingga sore tiba, sedangkan bacaan di waktu sore akan melindunginya hingga pagi tiba.

Lengkap haditsnya berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ
فِي الْأَرْضِوَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لَمْ تَفْجَأْهُفَاجِئَةُ بَلَاءٍ حَتَّى اللَّيْلِ وَمَنْ قَالَهَا
حِينَ يُمْسِيلَمْ تَفْجَأْهُ فَاجِئَةُ بَلَاءٍ حَتَّى يُصْبِحَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dari Aban Bin Utsman dari Utsman bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membaca ‘BISMILLAAHIL LADZII LAA YADLURRU MA’AS MIHI SYAI’UN FIL ARDLI WALA FIS SAMAA’WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIIM’ (dengan nama Allah, dengan nama-Nya tidak akan berbahaya sesuatu yang ada di bumi maupun yang ada di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui) sebanyak tiga kali, maka tidak akan ditimpa musibah mengejutkan hingga malam hari, dan barangsiapa membacanya di waktu sore maka tidak akan ditimpa musibah mengejutkan hingga pagi hari jika Allah menghendaki." (HR. AHMAD – 497)


iklan