PENGERTIAN TAWASUL
tawassul secara bahasa artinya
perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, "
(Al-Maidah:35).
Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara
Wasilah adalah media perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini
adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain,
baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau
melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya yang mulia disisi
Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).
Macam-Macam
Tawassul
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya
disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih
diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang
melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1. Tawassul dengan
Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang
artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2.
Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang
yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih
mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal
shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua
bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan
zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan
menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu
besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar
dari dalam gua dengan selamat.
3. Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang
bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam
berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t
meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman
Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan
Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi
kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: “Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah
dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang
memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki,
al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz
al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani,
al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang
memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang
melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan
orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada
seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi
hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak
memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif
(perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu'
kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah
sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh
kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta
Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman
bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga
memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan
di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut
menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR.
Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah.
Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa,
I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz
al-Haitsami berkata: “Dan sungguh al-Thabrani
berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat
ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)
Pengertian
tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul
adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut
berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai
posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan
perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam
berdoa.
Banyak
sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di
sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului
bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian
juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan
dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa
dan bukan merupakan keharusan
Para ulama sepakat
memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh,
sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti
hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan
tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul
kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua
bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan
tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul
kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap
harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan
jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi
perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan
amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai
martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang
mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad
SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah
ini.
Pendapat mayoritas ulama
mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi
kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah
sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya
tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal
perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh
ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ
أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا
اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ
إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى
صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa
Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan
melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah
bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami
bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka
hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan
bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang
shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah
merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta
kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan
seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah
manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut
hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau
membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada
Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan
berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga
mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan
bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat
kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju
Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan
perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya
hanyalah Allah SWT semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah
SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita
ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa
untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang
yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.
Wallahu a’lam bi al-shawab.