iklan banner

Rabu, 13 Juni 2018

sholat jumat di hari raya


SHOLAT IED TIDAK MENGGUGURKAN KEWAJIBAN SHOLAT JUM’AT BAGI PENDUDUK KAMPUNG

Dalam pandangan Mazhab Syafi’i bertepatan hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad).

Adapun penduduk yang dusun (ahlu qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at pada hari itu. Berikut keterangan ulama Mazhab Syafi’i mengenai shalat jum’at yang bertepatan dengan shalat hari raya.

A. TINJAUAN DALIL

Hadits dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah saw bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?”. Zaid menjawab, “Iya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi saw bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310)

Dari hadits diatas, timbul pertanyaan :
1.      siapakah yang diberi KERINGANAN oleh Nabi ?
2.      Apakah semua orang atau hanya beberapa orang ?
3.      Apakah ada syarat2 tertentu?

Untuk menjawab dan menjelaskan  hadits diatas perlu ada pembanding hadits lain.

Simak hadits dibawah ini :

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja orang 'awaali (berdomisili ditempat yang jauh) yang ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)

Langsung dijelaskan oleh Sahabat Utama Sayyidina Utsman bin Affan bahwa yang diberi keringanan untuk tidak melaksanakan Sholat Jumat oleh Nabi adalah orang yang berdomisili sangat jauh dari Masjid Nabawi.

Tetapi, Nabi Muhammad beserta Ahlul Balad (orang2 yang berdomisili di sebuah daerah yang didalamnya diselenggarakan sholat Jum'at) tetap melaksanakan SHOLAT JUM'AT.

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Di hari ini ada dua hari raya. Siapa yang telah hadir shalat id, dia boleh tidak mengikuti Sholat Jum'at. Tapi kami tetap menyelenggarakan sholat Jum'at. (HR. Abu Daud 1073, al-Hakim 1064, al-Baihaqi dalam al-Kubro)

B. GAMBARAN PELAKSANAAN SHOLAT  IED DI JAMAN NABI
 
Kita jelaskan bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied.

Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami'. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut.

Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami' dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh.

Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami' sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum'at.

Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya.

C. PENJELASAN ULAMA FIQIH

1. PENJELASAN  IMAM  SYAFI’I :

Simak penjelasan Imam Syafi'i dalam kitab beliau Al Umm juz 1 hal 239
قال الشَّافِعِيُّ ) وإذا كان يَوْمُ الْفِطْرِ يوم الْجُمُعَةِ صلى الْإِمَامُ الْعِيدَ حين تَحِلُّ الصَّلَاةُ ثُمَّ أَذِنَ لِمَنْ حَضَرَهُ من غَيْرِ أَهْلِ الْمِصْرِ في أَنْ يَنْصَرِفُوا إنْ شاؤوا إلَى أَهْلِيهِمْ وَلَا يَعُودُونَ إلَى الْجُمُعَةِ وَالِاخْتِيَارُ لهم أَنْ يُقِيمُوا حتى يَجْمَعُوا

Imam Syafi'i berkata :
"Apabila Hari Idul Fitri (maupun Idul Adha) jatuh pada Hari Jum'at, maka bagi Imam (harus) menyelenggarakan sholat Id kemudian mengizinkan kepada selain ahlul mishr (penduduk kota)  yang telah mengikuti sholat Id untuk memilih, apabila ia berkehendak untuk pulang dan tidak mengikuti Sholat Jum'at, maka diizinkan. Dan apabila mereka menghendaki untuk mengikuti sholat Jum'at, maka boleh bagi mereka untuk menunggu sampai masuknya Sholat Jum'at.

قال الشَّافِعِيُّ ) وَلَا يَجُوزُ هذا لِأَحَدٍ من أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يُدْعَوْا أَنْ يَجْمَعُوا إلَّا من عُذْرٍ يَجُوزُ لهم بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كان يوم عِيدٍ

Imam Syafi'i menekankan : KERINGANAN diatas TIDAK DIPERUNTUKKAN bagi siapapun dari ahlul mishr (penduduk kota/penduduk yang berdomisili di daerah yang didalamnya diselenggarakan Sholat Jum'at). Maka bagi mereka tetap wajib untuk melaksanakan Sholat Jum'at meskipun berbarengan dengan hari Raya Ied kecuali yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan sholat Jum'at (sakit, musafir, dll)

2. PENJELASAN IMAM NAWAWI

Lebih jauh, simak penjelasan Imam Nawawi (penulis Syarah Hadits Shohih Muslim) dalam kitab Muhadzdzab juz I hal. 109

وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. اهـ

“Apabila hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk yang berdomisili di tempat yang jauh dari tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh kembali ke domisilinya, dan (diberi keringanan untuk) tidak mengikuti jum’atan.

Diriwayatkan dari sayyidina Utsman ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap kata sayyidina Utsman ini tidak ada satupun sahabat yang mengingkarinya.

3. PENJELASAN IMAM AL-RUYANI

Berkata al-Ruyani :
“Apabila berhimpun hari raya dan jum’at, maka tidak dapat mengugurkan fardhu Jum’at dari penduduk balad.”

Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.

Ayat tersebut berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)

Alasan lain adalah shalat Jum’at merupakan sebuah kewajiban agama. Suatu kewajiban agama tidak boleh ditinggalkan hanya karena suatu amalan sunnah, yaitu shalat hari raya. Kedua alasan ini telah disebut al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab.

KESIMPULAN :

1. Bagi takmir Masjid, tetap WAJIB menyelenggarakan Sholat Jumat

2. Bagi yang mendapatkan keringanan tidak melaksanakan sholat jumat, maka tetap wajib baginya untuk melaksanakan sholat Dzuhur.

3. Keringanan untuk tidak melaksanakan sholat Jumat itu diberikan HANYA KEPADA orang yang berdomisili di sebuah tempat yang ditempat tersebut tidak diselenggarakan sholat Jumat (penduduk pedalaman) sehingga ia harus kekota untuk melaksanakan sholat Jumat. Dan keringanan tersebut dapat diambil hanya jika apabila ia datang ke kota untuk melaksanakan Sholat Id, kemudian ia kembali ke domisilinya dan diperkirakan ia akan terlambat apabila kembali lagi ke kota untuk melaksanakan sholat Jumat karena terlalu jauhnya tempat domisilinya dengan Masjid dikota yang menyelenggarakan Jum'atan.

4. Melihat kondisi sekarang, terutama masyarakat di tempat  yang sudah banyak daerah yang didalamnya terdapat masjid yang mendirikan sholat Jumat, maka KERINGANAN untuk tidak sholat jumat tersebut TIDAK BERLAKU, sehingga TETAP WAJIB untuk melaksanakan sholat Jum'at.

Wallahu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan