iklan banner

Sabtu, 23 Juni 2018

HUTANG MASA LALU

MEMBAYAR HUTANG MASA LALU YANG  BERUBAH NILAI

Masalah :
Mohon pencerahan, ada kejadian spt ini, Bapak Mertua saya sdh almarhum, dlu sekali tahun 70 an beliau usaha handuk tenun, usaha beliau terhenti stlh byk dagangan yg dibawa bakul tapi ga dibayar, sampai beliau wafat hutang para bakul itu blm terselesaikan... Lebaran kmrn ada  anak dr salah satu bakul bapak yg berniat utk menyelesaikan hutang ayahnya, krn kebetulan tetangga sdr maka ibu masih ingat kira2 brp hutang bakul itu yaitu 50 dozen, hrg per dozen saat itu adlh 700 rupiah. Bagaimana itungan secara syariat utk pengembalian hutang bakul tsb? Sbg info hrg emas saat itu 480rp per grm... Nuwun

Jawab :

Prinsip dasar dalam membayar hutang itu sesuai nominal yang dihutang bukan dengan nilainya. Ini artinya orang yang berhutang harus membayar sesuai dengan jumlah hutannya, bukan dengan nilainya. Jadi, jika ia berhutang Rp. 1000 maka ia harus mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai Rp. 1000 pada saat berhutang berbeda pada saat membayarnya. Hal ini didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:         

وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang berhutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena hutang menuntut pengembalian yang sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)

Pandangan di atas juga diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada pertemuan ke-5 di Kuwait bulan Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.   

اَلْعِبْرَةُ فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى الأَسْعَارِ
“Yang menjadi patokan dalam membayar hutang yang telah ditetapkan dengan uang apa saja adalah membayar dengan yang sepadan (nominalnya) bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena hutang mengharuskan dibayar dengan yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan hutang yang ada dalam tanggungan, apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga (nilainya)”. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53)

Penjelasan singkat ini jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka ahli waris yang menanggung hutang si mayyit hanya membayar nominal hutangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah.

Jadi, jika si mayyit hutangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh pihak yang menanggung yang dalam hal ini adalah ahli waris, adalah sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.

Namun masalahnya uang 1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda dengan tigapuluh tahun yang lalu pada saat transaksi hutang itu terjadi. Dalam hal ini ada pendapat lain mengatakan:

إذَا غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو يُوسُفَ ، قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا ، ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ، يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ الْقَبْضُ
“Ketika nilai uang kertas menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa pembayaran hutang. Dalam hal Abu Yusuf berkata, pendapatku dan dan pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia hanya membayar nominal uang pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik pendapatnya, dan mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai dirham pada hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran hutangnya” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534)

Adapun terkait dengan pelunasan utang, muktamar kelima Majma’ Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut.”

Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?”

Jawaban beliau, “Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.

Sebagai contoh kasus :
Kita mengutangi utang pada teman dekat kita sebesar Rp.40.000.000,- (harga emas 300 rb) tahun 2010 dan akan dilunasi April 2017 (harga emas 500 rb).

Ada beberapa kasus pelunasan:

1.      Dilunasi dengan uang yang sama pada April 2017, yaitu Rp.40.000.000,-, seperti ini masih boleh.

2.      Dilunasi dengan emas pada April 2017, yaitu sebesar 80 gram emas (per gram Rp.500.000,-).

3.      Dilunasi dengan nilai emas pada saat berutang misal per garam sama dengan Rp.300.000,. Berarti Rp.40.000.000,- sama dengan 133,33 gram. Akhirnya pada April 2017, nilai utang tersebut menjadi Rp.66.666.666,67. Jika terjadi seperti ini jumlah pembayaran utang berarti bertambah sehingga termasuk riba duyun. Juga terdapat barter mata uang yang tertunda, berarti masuk dalam riba nasi’ah (yang tertunda).

Saran kami, penyelesaian bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran hutang yang harus dibayar bisa disepakati dengan pihak yang menghutangi.

Prinsipnya, para ulama fikih umumnya berpendapat bahwa hutang uang dibayar sesuai nominal tempo dulu. Namun pihak ahli waris lebih baik membayarkan hutang itu dengan nominal yang pantas sesuai dengan perkiraan perubahan nilai uang saat ini.

Sebaliknya, jika hutang itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan membayarnya pun juga dengan barang (50 dozen handuk tenun). Namun terkait perubahan nilai barang antara dulu dengan sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah pihak.

Sekali lagi lebih baik ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan lupa minta diikhlaskan kepada pihak yang menghutangi atau keluarganya agar si mayyit tenang dan bebas tanggungan di akhirat sana.

Wallahu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan