iklan banner

Sabtu, 23 Juni 2018

HUTANG MASA LALU

MEMBAYAR HUTANG MASA LALU YANG  BERUBAH NILAI

Masalah :
Mohon pencerahan, ada kejadian spt ini, Bapak Mertua saya sdh almarhum, dlu sekali tahun 70 an beliau usaha handuk tenun, usaha beliau terhenti stlh byk dagangan yg dibawa bakul tapi ga dibayar, sampai beliau wafat hutang para bakul itu blm terselesaikan... Lebaran kmrn ada  anak dr salah satu bakul bapak yg berniat utk menyelesaikan hutang ayahnya, krn kebetulan tetangga sdr maka ibu masih ingat kira2 brp hutang bakul itu yaitu 50 dozen, hrg per dozen saat itu adlh 700 rupiah. Bagaimana itungan secara syariat utk pengembalian hutang bakul tsb? Sbg info hrg emas saat itu 480rp per grm... Nuwun

Jawab :

Prinsip dasar dalam membayar hutang itu sesuai nominal yang dihutang bukan dengan nilainya. Ini artinya orang yang berhutang harus membayar sesuai dengan jumlah hutannya, bukan dengan nilainya. Jadi, jika ia berhutang Rp. 1000 maka ia harus mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai Rp. 1000 pada saat berhutang berbeda pada saat membayarnya. Hal ini didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:         

وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang berhutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena hutang menuntut pengembalian yang sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)

Pandangan di atas juga diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada pertemuan ke-5 di Kuwait bulan Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.   

اَلْعِبْرَةُ فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى الأَسْعَارِ
“Yang menjadi patokan dalam membayar hutang yang telah ditetapkan dengan uang apa saja adalah membayar dengan yang sepadan (nominalnya) bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena hutang mengharuskan dibayar dengan yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan hutang yang ada dalam tanggungan, apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga (nilainya)”. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53)

Penjelasan singkat ini jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka ahli waris yang menanggung hutang si mayyit hanya membayar nominal hutangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah.

Jadi, jika si mayyit hutangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh pihak yang menanggung yang dalam hal ini adalah ahli waris, adalah sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.

Namun masalahnya uang 1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda dengan tigapuluh tahun yang lalu pada saat transaksi hutang itu terjadi. Dalam hal ini ada pendapat lain mengatakan:

إذَا غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو يُوسُفَ ، قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا ، ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ، يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ الْقَبْضُ
“Ketika nilai uang kertas menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa pembayaran hutang. Dalam hal Abu Yusuf berkata, pendapatku dan dan pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia hanya membayar nominal uang pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik pendapatnya, dan mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai dirham pada hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran hutangnya” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534)

Adapun terkait dengan pelunasan utang, muktamar kelima Majma’ Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut.”

Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?”

Jawaban beliau, “Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.

Sebagai contoh kasus :
Kita mengutangi utang pada teman dekat kita sebesar Rp.40.000.000,- (harga emas 300 rb) tahun 2010 dan akan dilunasi April 2017 (harga emas 500 rb).

Ada beberapa kasus pelunasan:

1.      Dilunasi dengan uang yang sama pada April 2017, yaitu Rp.40.000.000,-, seperti ini masih boleh.

2.      Dilunasi dengan emas pada April 2017, yaitu sebesar 80 gram emas (per gram Rp.500.000,-).

3.      Dilunasi dengan nilai emas pada saat berutang misal per garam sama dengan Rp.300.000,. Berarti Rp.40.000.000,- sama dengan 133,33 gram. Akhirnya pada April 2017, nilai utang tersebut menjadi Rp.66.666.666,67. Jika terjadi seperti ini jumlah pembayaran utang berarti bertambah sehingga termasuk riba duyun. Juga terdapat barter mata uang yang tertunda, berarti masuk dalam riba nasi’ah (yang tertunda).

Saran kami, penyelesaian bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran hutang yang harus dibayar bisa disepakati dengan pihak yang menghutangi.

Prinsipnya, para ulama fikih umumnya berpendapat bahwa hutang uang dibayar sesuai nominal tempo dulu. Namun pihak ahli waris lebih baik membayarkan hutang itu dengan nominal yang pantas sesuai dengan perkiraan perubahan nilai uang saat ini.

Sebaliknya, jika hutang itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan membayarnya pun juga dengan barang (50 dozen handuk tenun). Namun terkait perubahan nilai barang antara dulu dengan sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah pihak.

Sekali lagi lebih baik ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan lupa minta diikhlaskan kepada pihak yang menghutangi atau keluarganya agar si mayyit tenang dan bebas tanggungan di akhirat sana.

Wallahu a’lam


Kamis, 14 Juni 2018

UCAPAN SELAMAT DI HARI RAYA


 TIDAK SALAH ENGUCAPKAN MINAL AIDIN WAL FAIZIN DI HARI RAYA

RIWAYAT 'TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM' DAN IHWAL UCAPAN SELAINNYA

Riwayat yang menjelaskan ucapan 'Taqabbalallahu Minna wa Minkum' dituturkan oleh Muhammad bin Ziyad. Ia menceritakan kejadian kala bersama Abu Umamah al-Bahili dan lainnya dari sahabat Rasulullah SAW. Syahdan, sepulang dari Shalat Id, mereka saling mengatakan, 

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Imam Ahmad menjelaskan, sanad hadits Abu Umamah ini Jayyid. 

Ali bin Tsabit berujar, 
سألت مالك بن أنس منذ خمس وثلاثين سنة وقال: لم يزل يعرف هذا بالمدينة.
"Aku bertanya pada Malik bin Anas sejak 35 tahun. Dia menjawab, 'Hal (ucapan) ini selalu ditradisikan di Madinah."

Dalam Sunan al-Baihaqi disebutkan,
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ: لَقِيتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقُلْتُ: تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ، فَقَالَ: نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ، قَالَ وَاثِلَةُ: لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ: تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ، فَقَالَ: نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ.
Diriwayatkan dari Khalid bin Ma'dan, ia berkata, "Aku bertemu Watsilah bin Asqa' pada hari Raya. Aku katakan padanya: Taqabbalallahu minna wa minka. Watsilah menanggapi, 'Aku pernah bertemu Rasulullah SAW pada hari raya, lantas aku katakan 'Taqabbalallahu minna wa minka'. Beliau menjawab, 'Ya, Taqabbalallahu minna wa minka."

Kedua riwayat ini memberikan benang merah, ucapan 'Taqabbalallahu minna wa minka' merupakan bacaan yang disyariatkan (masyru') dan hukum mengucapkannya sunnah.

 APAKAH UCAPAN LAIN TIDAK BOLEH?

Ucapan selamat atau tahniah atas datangnya momen tertentu bisa saja merupakan tradisi atau adat. Sementara hukum asal suatu adat adalah boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Hal ini juga merupakan madzhab Imam Ahmad. Mayoritas ulama menyatakan, ucapan selamat pada hari raya hukumnya boleh (lihat: al-Adab al-Syar'iyah, jilid 3, hal. 219).

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud syukur dan ta'ziyah (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 14, hal 99-100).

Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap ucapan baik, apalagi merupakan doa, dalam momen nikmat atau bahkan musibah, adalah sesuatu yang boleh, bahkan baik untuk dilakukan. Dengan kalam lain, ucapan di Idul Fitri yang terbaik memang 'taqabbalallahu minna wa minkum'. Namun bukan berarti doa dan ucapan lain yang baik itu tidak diperbolehkan.

MELURUSKAN MAKNA MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN

Tidak sama memaknai Minal 'AIDIN WAL FAIZIN' dengan 'MOHON MAAF LAHIR BATIN', hanya karena biasanya dua kalimat itu beriringan satu sama lain.

Itu sama saja dengan membahasa-Inggriskan KESET dengan WELCOME, dengan alasan tulisan itu biasanya ada di keset.

MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN adalah bahasa arab yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Semoga kita termasuk orang yang kembali dan menuai kemenangan'. 

Makna popular kalimat tersebut adalah :
 JA'ALANALLAHU WA IYYAKUM MINAL 'AIDIN ILAL FITHRAH WAL FAIZIN BIL JANNAH' 
Artinya :
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga.


Kita yakin, orang yang mengucapkannya tidak akan memaknainya 'kembali pada kemaksiatan pascaramadhan, meraih kemenangan atas bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan'. 

Pun, jangan memaknai Minal 'Aidin Wal Faizin' dengan 'Mohon Maaf Lahir Batin', hanya karena biasanya dua kalimat itu beriringan satu sama lain. Itu sama saja dengan 'membahasa-Inggriskan' keset dengan welcome, dengan alasan tulisan itu biasanya ada di keset.

Makna popular kalimat tersebut adalah 'Ja'alanallahu wa iyyakum MINAL 'AIDIN ilal fithrah WAL FAIZIN bil jannah' (Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).

Jadi jangan khawatir. Maknanya bukan kembali ke perbuatan maksiat dan menang telah menaklukkan Ramadhan. Tanda orang yang diterima ibadahnya, ia makin meningkatkan ketaatan dan makin meninggalkan kemaksiatan (min 'alamati qabulit-tha'ah fa innah tajurru ila tha'atin ukhra).

 APA MAKNA FITRAH?

 Setidaknya ia memiliki dua makna: Islam dan kesucian. 
Makna pertama diisyaratkan oleh hadits (artinya): "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia (sebagai/seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi." 

Sisi pengambilan kesimpulan hukum atau wajh al-istidlal-nya, Nabi telah menyebutkan agama-agama besar kala itu, namun Nabi tidak menyebutkan Islam. Maka fitrah diartikan sebagai Islam. 

Dengan ujaran lain, makna kembali ke fitrah adalah kembali ke Islam, kembali pada ajaran, akhlak, dan keluhuran budaya Islam.

Makna fitrah yang kedua adalah kesucian. Makna ini berdasarkan hadits Nabi (artinya), "Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, mencabut/menghilangkan bulu ketiak, dan memotong kuku." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima macam fitrah ini semuanya kembali pada praktik kebersihan dan kesucian. Dapat disimpulkan kemudian bahwa makna fitrah adalah bersih dan suci. 

Minal 'Aidin ilal fithrah, berarti kita mengharap kembali menjadi orang bersih dan suci. Dengan keyakinan pada hadits Nabi, orang yang shiyam dan qiyam (berpuasa dan menghidupkan malam) di bulan Ramadhan, karena iman dan semata mencari ridha Allah, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Harapannya, semoga kita seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu, bersih-suci dari salah dan dosa. Amin...

Sementara panjatan doa "Semoga kita menuai kemenangan dengan meraih surga - Wal Faizin bil jannah", sangat terkait dengan tujuan puasa Ramadhan dan happy ending bagi orang yang berhasil membuktikan tujuan itu. 

Dalam al-Baqarah ayat 183 dijelaskan bahwa tujuan puasa Ramadhan adalah 'agar kalian bertakwa (la'allakum tattaqun)'. Sedangkan Surat al-Hijr ayat 45 dan Ali Imran ayat 133 menjelaskan, bagi orang bertakwa itu hadiahnya adalah surga.

Ringkasnya, puasa berdampak takwa. Takwa berhadiah surga.
Hal inilah yang menjadi harapan orang yang berpuasa Ramadhan. Ia ingin dijadikan sebagai orang bertakwa dengan sebenarnya, dan mengharap menjadi salah satu penghuni surga.

Itulah makna kemenangan yang terucap dalam 'wal faizin' itu. Bukan kemenangan atas Ramadhan, sehingga bebas melakukan keburukan karena merasa sudah 'menang'! 

MINTA MAAF DI IDUL FITRI KELIRU?

Orang yang minta maaf di hari Raya, in syaa-Allah tidak meyakini minta maaf itu hanya khusus di hari Raya. Ini adalah ikhtiar untuk kesempurnaan ibadah.

Islam agama paripurna. Tidak sempurna iman seseorang sampai dua sisi tali hablun minallah dan hablun minannas sama-sama dikuatkan. Dalam sekian hadits dijelaskan misalnya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, 'hendaknya dia menghormati tamunya', 'hendaknya dia mengatakan yang baik atau diam', dan seterusnya. 

Surat al-Ma'un juga menjelaskan, pendusta hari pembalasan itu orang yang menolak anak yatim dan tidak memperdulikan orang miskin. Shalat itu tanha 'anil fahsyaa-i wal munkar. Zakat atau sedekah itu tuthahhiruhum wa tuzakkihim biha.

Dus, dari sekian penjelasan baik dari al-Qur'an maupun Sunnah itu, akhirnya seorang muslim sangat memahami, ada misi kebaikan secara vertikal dan horizontal. Siapa yang mengaku bertauhid, harus baik pula dalam wilayah sosial. Kalau puasa Ramadhan adalah hubungan baik secara vertikal, mengapa kemudian untuk minta maaf pascaramadhan sebagai ranah sosial dilarang?

Wallahu a'lam.

AKHIRUL KALAM. 
SELAMAT MERAYAKAN IDUL FITRI.
TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM.
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN.
MOHON MAAF LAHIR BATIN...

Faris Khoirul Anam (Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)

Rabu, 13 Juni 2018

sholat jumat di hari raya


SHOLAT IED TIDAK MENGGUGURKAN KEWAJIBAN SHOLAT JUM’AT BAGI PENDUDUK KAMPUNG

Dalam pandangan Mazhab Syafi’i bertepatan hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad).

Adapun penduduk yang dusun (ahlu qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at pada hari itu. Berikut keterangan ulama Mazhab Syafi’i mengenai shalat jum’at yang bertepatan dengan shalat hari raya.

A. TINJAUAN DALIL

Hadits dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah saw bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?”. Zaid menjawab, “Iya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi saw bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310)

Dari hadits diatas, timbul pertanyaan :
1.      siapakah yang diberi KERINGANAN oleh Nabi ?
2.      Apakah semua orang atau hanya beberapa orang ?
3.      Apakah ada syarat2 tertentu?

Untuk menjawab dan menjelaskan  hadits diatas perlu ada pembanding hadits lain.

Simak hadits dibawah ini :

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja orang 'awaali (berdomisili ditempat yang jauh) yang ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)

Langsung dijelaskan oleh Sahabat Utama Sayyidina Utsman bin Affan bahwa yang diberi keringanan untuk tidak melaksanakan Sholat Jumat oleh Nabi adalah orang yang berdomisili sangat jauh dari Masjid Nabawi.

Tetapi, Nabi Muhammad beserta Ahlul Balad (orang2 yang berdomisili di sebuah daerah yang didalamnya diselenggarakan sholat Jum'at) tetap melaksanakan SHOLAT JUM'AT.

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Di hari ini ada dua hari raya. Siapa yang telah hadir shalat id, dia boleh tidak mengikuti Sholat Jum'at. Tapi kami tetap menyelenggarakan sholat Jum'at. (HR. Abu Daud 1073, al-Hakim 1064, al-Baihaqi dalam al-Kubro)

B. GAMBARAN PELAKSANAAN SHOLAT  IED DI JAMAN NABI
 
Kita jelaskan bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied.

Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami'. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut.

Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami' dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh.

Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami' sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum'at.

Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya.

C. PENJELASAN ULAMA FIQIH

1. PENJELASAN  IMAM  SYAFI’I :

Simak penjelasan Imam Syafi'i dalam kitab beliau Al Umm juz 1 hal 239
قال الشَّافِعِيُّ ) وإذا كان يَوْمُ الْفِطْرِ يوم الْجُمُعَةِ صلى الْإِمَامُ الْعِيدَ حين تَحِلُّ الصَّلَاةُ ثُمَّ أَذِنَ لِمَنْ حَضَرَهُ من غَيْرِ أَهْلِ الْمِصْرِ في أَنْ يَنْصَرِفُوا إنْ شاؤوا إلَى أَهْلِيهِمْ وَلَا يَعُودُونَ إلَى الْجُمُعَةِ وَالِاخْتِيَارُ لهم أَنْ يُقِيمُوا حتى يَجْمَعُوا

Imam Syafi'i berkata :
"Apabila Hari Idul Fitri (maupun Idul Adha) jatuh pada Hari Jum'at, maka bagi Imam (harus) menyelenggarakan sholat Id kemudian mengizinkan kepada selain ahlul mishr (penduduk kota)  yang telah mengikuti sholat Id untuk memilih, apabila ia berkehendak untuk pulang dan tidak mengikuti Sholat Jum'at, maka diizinkan. Dan apabila mereka menghendaki untuk mengikuti sholat Jum'at, maka boleh bagi mereka untuk menunggu sampai masuknya Sholat Jum'at.

قال الشَّافِعِيُّ ) وَلَا يَجُوزُ هذا لِأَحَدٍ من أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يُدْعَوْا أَنْ يَجْمَعُوا إلَّا من عُذْرٍ يَجُوزُ لهم بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كان يوم عِيدٍ

Imam Syafi'i menekankan : KERINGANAN diatas TIDAK DIPERUNTUKKAN bagi siapapun dari ahlul mishr (penduduk kota/penduduk yang berdomisili di daerah yang didalamnya diselenggarakan Sholat Jum'at). Maka bagi mereka tetap wajib untuk melaksanakan Sholat Jum'at meskipun berbarengan dengan hari Raya Ied kecuali yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan sholat Jum'at (sakit, musafir, dll)

2. PENJELASAN IMAM NAWAWI

Lebih jauh, simak penjelasan Imam Nawawi (penulis Syarah Hadits Shohih Muslim) dalam kitab Muhadzdzab juz I hal. 109

وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. اهـ

“Apabila hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk yang berdomisili di tempat yang jauh dari tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh kembali ke domisilinya, dan (diberi keringanan untuk) tidak mengikuti jum’atan.

Diriwayatkan dari sayyidina Utsman ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap kata sayyidina Utsman ini tidak ada satupun sahabat yang mengingkarinya.

3. PENJELASAN IMAM AL-RUYANI

Berkata al-Ruyani :
“Apabila berhimpun hari raya dan jum’at, maka tidak dapat mengugurkan fardhu Jum’at dari penduduk balad.”

Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.

Ayat tersebut berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)

Alasan lain adalah shalat Jum’at merupakan sebuah kewajiban agama. Suatu kewajiban agama tidak boleh ditinggalkan hanya karena suatu amalan sunnah, yaitu shalat hari raya. Kedua alasan ini telah disebut al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab.

KESIMPULAN :

1. Bagi takmir Masjid, tetap WAJIB menyelenggarakan Sholat Jumat

2. Bagi yang mendapatkan keringanan tidak melaksanakan sholat jumat, maka tetap wajib baginya untuk melaksanakan sholat Dzuhur.

3. Keringanan untuk tidak melaksanakan sholat Jumat itu diberikan HANYA KEPADA orang yang berdomisili di sebuah tempat yang ditempat tersebut tidak diselenggarakan sholat Jumat (penduduk pedalaman) sehingga ia harus kekota untuk melaksanakan sholat Jumat. Dan keringanan tersebut dapat diambil hanya jika apabila ia datang ke kota untuk melaksanakan Sholat Id, kemudian ia kembali ke domisilinya dan diperkirakan ia akan terlambat apabila kembali lagi ke kota untuk melaksanakan sholat Jumat karena terlalu jauhnya tempat domisilinya dengan Masjid dikota yang menyelenggarakan Jum'atan.

4. Melihat kondisi sekarang, terutama masyarakat di tempat  yang sudah banyak daerah yang didalamnya terdapat masjid yang mendirikan sholat Jumat, maka KERINGANAN untuk tidak sholat jumat tersebut TIDAK BERLAKU, sehingga TETAP WAJIB untuk melaksanakan sholat Jum'at.

Wallahu a’lam


iklan