MEMBAYAR HUTANG MASA LALU YANG BERUBAH NILAI
Masalah :
Mohon pencerahan, ada
kejadian spt ini, Bapak Mertua saya sdh almarhum, dlu sekali tahun 70 an beliau
usaha handuk tenun, usaha beliau terhenti stlh byk dagangan yg dibawa bakul
tapi ga dibayar, sampai beliau wafat hutang para bakul itu blm terselesaikan...
Lebaran kmrn ada anak dr salah satu
bakul bapak yg berniat utk menyelesaikan hutang ayahnya, krn kebetulan tetangga
sdr maka ibu masih ingat kira2 brp hutang bakul itu yaitu 50 dozen, hrg per
dozen saat itu adlh 700 rupiah. Bagaimana itungan secara syariat utk
pengembalian hutang bakul tsb? Sbg info hrg emas saat itu 480rp per grm...
Nuwun
Jawab :
Prinsip dasar dalam
membayar hutang itu sesuai nominal yang dihutang bukan dengan nilainya. Ini
artinya orang yang berhutang harus membayar sesuai dengan jumlah hutannya,
bukan dengan nilainya. Jadi, jika ia berhutang Rp. 1000 maka ia harus
mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai Rp. 1000 pada saat berhutang berbeda pada
saat membayarnya. Hal ini didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:
وَيَجِبُ
عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى
الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang
berhutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena hutang menuntut pengembalian yang
sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i,
Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)
Pandangan di atas juga
diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada pertemuan ke-5 di Kuwait bulan
Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.
اَلْعِبْرَةُ
فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ
بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ
الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى
الأَسْعَارِ
“Yang menjadi patokan
dalam membayar hutang yang telah ditetapkan dengan uang apa saja adalah
membayar dengan yang sepadan (nominalnya) bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena hutang mengharuskan dibayar dengan
yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan hutang yang ada dalam tanggungan,
apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga (nilainya)”. (Lihat Wahbah
az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah,
Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53)
Penjelasan singkat ini
jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka ahli waris yang
menanggung hutang si mayyit hanya membayar nominal hutangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah.
Jadi, jika si mayyit
hutangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh pihak yang menanggung yang
dalam hal ini adalah ahli waris, adalah sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.
Namun masalahnya uang
1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda dengan tigapuluh tahun yang lalu
pada saat transaksi hutang itu terjadi. Dalam hal ini ada pendapat lain
mengatakan:
إذَا
غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو يُوسُفَ ،
قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا ،
ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ،
يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ الْقَبْضُ
“Ketika nilai uang kertas
menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa pembayaran hutang. Dalam hal Abu
Yusuf berkata, pendapatku dan dan pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia
hanya membayar nominal uang pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik
pendapatnya, dan mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai
dirham pada hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran
hutangnya” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar
al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534)
Adapun terkait dengan
pelunasan utang, muktamar kelima Majma’ Fikih Islami yang diadakan di Kuwait
pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukur
pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah
semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai
mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu
dengan harga mata uang tersebut.”
Penjelasan tentang dalil
yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah
seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i.
Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Seseorang berutang
sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus
membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut
naik?”
Jawaban beliau, “Dia harus
membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya
nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang
yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan
US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama
dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah
sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak
teranggap dalam hal ini.
Sebagai contoh kasus :
Kita mengutangi utang pada
teman dekat kita sebesar Rp.40.000.000,- (harga emas 300 rb) tahun 2010 dan
akan dilunasi April 2017 (harga emas 500 rb).
Ada beberapa kasus
pelunasan:
1. Dilunasi dengan uang yang sama
pada April 2017, yaitu Rp.40.000.000,-, seperti ini masih boleh.
2. Dilunasi dengan emas pada April
2017, yaitu sebesar 80 gram emas (per gram Rp.500.000,-).
3. Dilunasi dengan nilai emas pada
saat berutang misal per garam sama dengan Rp.300.000,. Berarti Rp.40.000.000,-
sama dengan 133,33 gram. Akhirnya pada April 2017, nilai utang tersebut menjadi
Rp.66.666.666,67. Jika terjadi seperti ini jumlah pembayaran utang berarti
bertambah sehingga termasuk riba duyun. Juga terdapat barter mata uang yang
tertunda, berarti masuk dalam riba nasi’ah (yang tertunda).
Saran kami, penyelesaian
bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh
atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran hutang yang harus
dibayar bisa disepakati dengan pihak yang menghutangi.
Prinsipnya, para ulama
fikih umumnya berpendapat bahwa hutang uang dibayar sesuai nominal tempo dulu.
Namun pihak ahli waris lebih baik membayarkan hutang itu dengan nominal yang
pantas sesuai dengan perkiraan perubahan nilai uang saat ini.
Sebaliknya, jika hutang
itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan membayarnya pun juga dengan barang (50
dozen handuk tenun). Namun terkait perubahan nilai barang antara dulu dengan
sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah pihak.
Sekali lagi lebih baik
ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan lupa minta diikhlaskan kepada
pihak yang menghutangi atau keluarganya agar si mayyit tenang dan bebas
tanggungan di akhirat sana.
Wallahu a’lam