MENAMBAHKAN KATA
“SAYYIDINA” DALAM SHOLAWAT SERTA SEBUTAN GELAR DALAM NAMA BAGI SAHABAT DAN
ULAMA
Menambah kata
"Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang
dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah
seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan
seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani
dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna
“Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum
yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39
“... menjadi pemimpin dan
ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan
orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)
Nabi Muhammad jauh lebih
mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan
rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya
boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu.
Kita tidak boleh
sembarangan untuk memanggil sebutan bagi para nabi. Allah ta’ala berfirman :
لا تَجْعَلُوا
دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ
اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih..(Qs.An Nuur (24)-Ayat 63)
Rasulullah sendiri
menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ
ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu
manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian di dalam
membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina
Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh
Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena
menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan
dengan yang ma'tsur.
Demikian pula ketika kita
memberikan gelaran pada sebutan nama para sahabat juga para ulama yang memiliki
kedudukan tinggi dihadapan Allah. Sudah selayaknya kita tidak menyebut namanya
secara langsung sebagai penghormatan atas kemuliaan para sahabat dan para
ulama.
Sebagai contoh : Sayyidina
Umar, sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, Maulana Ilyas, Maulana Muhammad
zakariya, Hadratusy syaikh Kh Hasyim asy’ari, Imam syafii, Imam Ahmad
Sebutan gelaran tersebut
untuk menundukkan hati kita dan melakukan penghormatan atas kemuliaan para
sahabat dan para ulama yang di ridhoi serta dirahmati oleh Allah Ta’ala. Sebagai penghormatan dan
pujian kita kepada mereka karena Allah pun memuji mereka :
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Artinya : “Balasan mereka
di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhannya. “ (Surat Al-Bayyinah Ayat 8)
Wallahu a’lam