iklan banner

Kamis, 26 Oktober 2017

Sayyidina dalam sholawat



MENAMBAHKAN KATA “SAYYIDINA” DALAM SHOLAWAT SERTA SEBUTAN GELAR DALAM NAMA BAGI SAHABAT DAN ULAMA

Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).

Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39
“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)

Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu.

Kita tidak boleh sembarangan untuk memanggil sebutan bagi para nabi. Allah ta’ala berfirman :

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih..(Qs.An Nuur (24)-Ayat 63)

Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.

Demikian pula ketika kita memberikan gelaran pada sebutan nama para sahabat juga para ulama yang memiliki kedudukan tinggi dihadapan Allah. Sudah selayaknya kita tidak menyebut namanya secara langsung sebagai penghormatan atas kemuliaan para sahabat dan para ulama.

Sebagai contoh : Sayyidina Umar, sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, Maulana Ilyas, Maulana Muhammad zakariya, Hadratusy syaikh Kh Hasyim asy’ari, Imam syafii, Imam Ahmad

Sebutan gelaran tersebut untuk menundukkan hati kita dan melakukan penghormatan atas kemuliaan para sahabat dan para ulama yang di ridhoi serta dirahmati oleh Allah Ta’ala. Sebagai penghormatan dan pujian kita kepada mereka karena Allah pun memuji mereka :

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Artinya : “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. “ (Surat Al-Bayyinah Ayat 8)

Wallahu a’lam

Kamis, 19 Oktober 2017

Baca Alquran di Kuburan



SUNAHNYA MEMBACAKAN ALQURAN KETIKA ZIARAH KUBUR

Amalan apa yang kita lakukan ketika kita ziarah kubur ? disamping doa untuk arwah juga kita lakukan pembacaan Al-quran agar Allah merahmati para arwah muslimin.

Rosulallah shollallahu alaihi wasallam mengajarka para sahabat agar membacakan alfatihah dan sebagian surat Al Baqoroh setelah menguburkan jenazah.

Berkaitan dengan hal ini Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan ayat terakhir Surat Al-Baqarah di dekat kakinya”. (Hadits Riwayat At-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449).

Al-Hafidz Ibnu Hajar seorang ulama pakar hadits menyatakan bahwa status hadits di atas adalah HASAN. (lihat Kitab Fath al-Bari III/184)

Para sahabat pun dikenal memiliki amalan membacakan alquran ketika ziarah kubur.

Riwayat yang berkenaan membaca Al-Quran di kuburan ternyata sudah diamalkan sejak masa sahabat :

عَنْ عُمَرَ قَالَ : اُحْضُرُوْا أَمْوَاتَكُمْ فَأَلْزِمُوْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَغْمِضُوْا أَعْيُنَهُمْ إِذَا مَاتُوْا وَاقْرَؤُوْا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ (أخرجه عبد الرزاق رقم 6043 وابن أبى شيبة رقم 10882)
“Diriwayatkan dari Umar: Datangilah orang yang akan meninggal, bacakan mereka Lailaha illallah, pejamkan matanya jika mereka meninggal, dan bacakan al-Quran di dekatnya” (Abdurrazzaq No 6043 dan Ibnu Abi Syaibah No 10882)

وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (
“Al-Khallal menyebutkan dari Syu’bi bahwa jika diantara sahabat Anshar ada yang meninggal, maka mereka bergantian ke kuburnya membaca al-Quran” (Ibnu Qayyim, Ar-Ruh).

KESIMPULAN PARA ULAMA

Al-Imam al-Nawawi, seorang ulama besar yang pakar dalam berbagai bidang dan menyusun banyak kitab di berbagai disiplin ilmu, mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau mengatakan,

وَيُسْتَحَب لِلزَّائِرِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca Al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca Al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh As-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (lihat Kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)

Di bagian lagi Imam Nawawi juga berkata:
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)

“Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah menyatakan bahwa DISUNNAHKAN membaca sebagian dari Al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata, Jika mereka mengkhatamkan Al-Quran keseluruhan, maka itu adalah hal yang baik" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294).

Tidak hanya dari kalangan Syafi’iyyah saja, terdapat pula keterangan bahwa beberapa ulama pun mengamalkan hal serupa. Seperti Al-Imam Abu Ja’far al-Hasyimi, seorang guru besar madzhab Hanbali yang wafat tahun 470 H. Ketika beliau wafat murid-murid Beliau membaca Al-Qur’an di makamnya sampai hatam 10.000 kali. Begitu pula ketika Ibnu Taimiyah wafat, di kubur beliau juga dibacakan al-Quran.(lihat Siyar A’alam Nubala karya Imam Ad-Dzahabai halaman 546 Jilid 18 juga Al-Bidayah wa nihayah halaman 156/14).

Dalil dan keterangan-keterangan di atas cukuplah menjadi dalil ilmiah yang mendasari amaliah membaca Al-Quran dan kalimat toyyibah di dekat kuburan bukanlah amalan yang mengada-ada. Keberadaannya merupakan hal yang direkomendasikan secara sambung-menyambung hingga Rasulullah dan para sahabat Beliau.

Wallahu a’lam

Minggu, 15 Oktober 2017

SIKAP TERHADAP SAUDARA MUSLIM



SIKAP TERHADAP SAUDARA MUSLIM

1.      BERPRASANGKA BAIK KEPADA SAUDARA MUSLIM SAMPAI DATANG BUKTI NYATA KEBURUKANNNYA.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib untuk menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan keburukan tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk.

2.      SENANTIASA SALING MENGINGATKAN DALAM KEBENARAN DAN KESABARAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr [103]:1 – 3)

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya.” (HR. Bukhari)

3.      TIDAK BERPUTUS ASA TERHADAP RAHMAT ALLAH DAN BERPRASANGKA BAIK PADA ALLAH

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ
“Janganlah sampai salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allāh Subhānahu wa Ta’ālā.” (HR Muslim dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu)


Dalam hadits qudsi, Allāh Subhānahu wa Ta’ālā berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ
“Sesungguhnya Aku tergantung persangkaan hamba-Ku. Oleh karenanya, hamba-Ku. silahkan dia berprasangka dengan apa yang dia mau terhadap diri-Ku,

إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
Jika dia berbaik sangka berupa kebaikan maka kebaikan baginya, jika dia berprasangka buruk maka keburukan baginya.”

4.      SENANTIASA MENDOAKAN MUSLIMIN AGAR DIBERI PETUNJUK AGAR SENANTIASA MENETAPI JALAN YANG LURUS.

“(Ya Allah). Tunjukilah kami jalan yang lurus (shiratal mustaqim), yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “ (Al Fatihah:6-7).

Dari Abu Darda’ ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Doa seorang muslim kepada saudaranya dengan tidak diketahui saudaranya itu mustajab (dikabulkan), pada seorang muslim itu ada malaikat yang diberi tugas supaya tiap ia mendoakan baik kepada saudaranya, maka malaikat yang diberi tugas itu mengucapkan: “Semoga Allah berkenan mengabulkan, dan buat kamu juga seperti itu.” (HR. Muslim)

Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah Saw menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi)

Wallahu a’lam

iklan