ZIKIR DAN DO’A DI
SELA-SELA SHALAT TARAWIH
Manusia
mempunyai adat yang berbeda ketika shalat tarawih, diantaranya membaca zikir,
doa atau membaca sebagian ayat al-Qur’an setelah selesai dua rakaat Shalat
Tarawih.
Sepanjang
pengetahuan kami, tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW atau
sahabat ataupun dari tabi’in yang menjadi contoh pengamalan zikir-zikir dan doa
di atas yang diucapkan di sela-sela shalat Tarawih. Namun tidak ada contoh dari
Rasulullah dan para salaf, bukan berarti amalan zikir-zikir dan do’a ini
menjadi terlarang, karena tidak ada larangan melakukan ibadah di sela-sela
shalat Tarawih.
Bahkan
berdasarkan keterangan al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab, para Salafulshalih, yakni
penduduk Makkah pada zaman Imam Syafi’i melakukan thawaf tujuh kali pada setiap
setelah empat raka’at shalat Tarawih dan penduduk Madinah menambah empat
raka’at shalat sunat pada setiap setelah empat raka’at shalat Tarawih sebagai
ganti dari thawaf yang dilakukan penduduk Makkah, sehingga menurut Imam Syafi’i
jumlah raka’at shalat penduduk Madinah ketika itu menjadi tiga puluh enam,
yakni 20 rakaat Tarawih + 4 X 4 = 36 raka’at. (Al-Ruyani,
Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 380)
Amalan
ini tentunya tidak ada contoh dari Nabi, namun nyatanya tidak ada pengingkaran
dari para ulama, padahal waktu itu penduduk Makkah dan Madinah masih banyak
dari kalangan Tabi’in.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dipahami bahwa melakukan ibadah disela-sela shalat Tarawih,
seperti shalat sunnat mutlaq, thawaf, do’a-doa, zikir dan tasbih disela-sela
shalat Tarawih dibolehkan dan khususnya mengenai amalan thawaf dan shalat sunat
mutlaq disela-sela shalat Tarawih pernah dilakukan oleh para shalaful shalih.
Kebolehan
ini dengan mendasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1.
Amalan thawaf, shalat sunat mutlaq, zikir dan doa tersebut masuk dalam keumuman
perintah thawaf, shalat sunat mutlaq, berdo’a dan berzikir, dapat dilakukan
kapanpun dan dimanapun, baik pada sela-sela shalat Tarawih maupun pada waktu
lainnya.
Dalil
zikir boleh dibaca kapanpun secara mutlaq antara lain firman Allah SWT :
يا
أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكراً كثيراً وسبحوه بكرة وأصيلاً
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang (Q.S.
al-Ahzab : 41-42)
2.
Karena amalan tersebut tidak ada contoh langsung dari Nabi SAW, maka ia termasuk
dalam katagori bid’ah hasanah, karena ada dalil umum yang membolehkannya. Dalil
adanya bid’ah hasanah antara lain Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW
bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya
: Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami
yang bukan dari agama kami, maka
(amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari dan Muslim )
Ibnu
Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan
dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak
didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum.
Dalam
uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun
yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’
atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. (Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin,
al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94)
Mafhum
mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah
yang dimaksud dengan bid’ah hasanah
Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar