SHOLAT IED
TIDAK MENGGUGURKAN KEWAJIBAN SHOLAT JUM’AT BAGI PENDUDUK KAMPUNG
Dalam pandangan Mazhab
Syafi’i bertepatan hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban
Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk
balad).
Adapun penduduk yang dusun
(ahlu qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat
Jum’at pada hari itu. Berikut keterangan ulama Mazhab Syafi’i mengenai shalat
jum’at yang bertepatan dengan shalat hari raya.
A. TINJAUAN DALIL
Hadits dari Iyas bin Abi
Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ
نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى
الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah
menyaksikan Rasulullah saw bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul
Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?”. Zaid menjawab, “Iya”.
Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat
Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi saw bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at,
maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no.
1310)
Dari hadits diatas, timbul
pertanyaan :
1. siapakah yang diberi KERINGANAN
oleh Nabi ?
2. Apakah semua orang atau hanya
beberapa orang ?
3. Apakah ada syarat2 tertentu?
Untuk menjawab dan
menjelaskan hadits diatas perlu ada
pembanding hadits lain.
Simak hadits dibawah ini :
قَالَ
أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ،
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى
فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa
beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at.
Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan
berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana
terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja orang 'awaali (berdomisili
ditempat yang jauh) yang ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun
siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari
no. 5572)
Langsung dijelaskan oleh
Sahabat Utama Sayyidina Utsman bin Affan bahwa yang diberi keringanan untuk
tidak melaksanakan Sholat Jumat oleh Nabi adalah orang yang berdomisili sangat
jauh dari Masjid Nabawi.
Tetapi, Nabi Muhammad
beserta Ahlul Balad (orang2 yang berdomisili di sebuah daerah yang didalamnya
diselenggarakan sholat Jum'at) tetap melaksanakan SHOLAT JUM'AT.
قَدِ
اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ
الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Di hari ini ada dua hari
raya. Siapa yang telah hadir shalat id, dia boleh tidak mengikuti Sholat
Jum'at. Tapi kami tetap menyelenggarakan sholat Jum'at. (HR. Abu Daud 1073,
al-Hakim 1064, al-Baihaqi dalam al-Kubro)
B. GAMBARAN PELAKSANAAN
SHOLAT IED DI JAMAN NABI
Kita jelaskan bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied.
Oleh karena itu,
masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at
atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami'.
Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami`
tersebut.
Suatu ketika hari raya
bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang
tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami' dua kali
dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh.
Bila mereka harus menunggu
di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun
begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di
masjid jami' sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke
desa dan kembali lagi waktu shalat Jum'at.
Melihat keadaan yang
seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan kepada penduduk yang tinggal di
desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik lagi ke mesjid jami’ untuk
melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya.
C. PENJELASAN ULAMA
FIQIH
1. PENJELASAN IMAM
SYAFI’I :
Simak penjelasan Imam
Syafi'i dalam kitab beliau Al Umm juz 1 hal 239
قال
الشَّافِعِيُّ ) وإذا كان يَوْمُ الْفِطْرِ يوم الْجُمُعَةِ صلى الْإِمَامُ
الْعِيدَ حين تَحِلُّ الصَّلَاةُ ثُمَّ أَذِنَ لِمَنْ حَضَرَهُ من غَيْرِ أَهْلِ
الْمِصْرِ في أَنْ يَنْصَرِفُوا إنْ شاؤوا إلَى أَهْلِيهِمْ وَلَا يَعُودُونَ إلَى
الْجُمُعَةِ وَالِاخْتِيَارُ لهم أَنْ يُقِيمُوا حتى يَجْمَعُوا
Imam Syafi'i berkata :
"Apabila Hari Idul
Fitri (maupun Idul Adha) jatuh pada Hari Jum'at, maka bagi Imam (harus)
menyelenggarakan sholat Id kemudian mengizinkan kepada selain ahlul mishr
(penduduk kota) yang telah mengikuti
sholat Id untuk memilih, apabila ia berkehendak untuk pulang dan tidak mengikuti
Sholat Jum'at, maka diizinkan. Dan apabila mereka menghendaki untuk mengikuti
sholat Jum'at, maka boleh bagi mereka untuk menunggu sampai masuknya Sholat
Jum'at.
قال
الشَّافِعِيُّ ) وَلَا يَجُوزُ هذا لِأَحَدٍ من أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يُدْعَوْا
أَنْ يَجْمَعُوا إلَّا من عُذْرٍ يَجُوزُ لهم بِهِ تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَإِنْ كان
يوم عِيدٍ
Imam Syafi'i menekankan :
KERINGANAN diatas TIDAK DIPERUNTUKKAN bagi siapapun dari ahlul mishr (penduduk
kota/penduduk yang berdomisili di daerah yang didalamnya diselenggarakan Sholat
Jum'at). Maka bagi mereka tetap wajib untuk melaksanakan Sholat Jum'at meskipun
berbarengan dengan hari Raya Ied kecuali yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan
sholat Jum'at (sakit, musafir, dll)
2. PENJELASAN IMAM
NAWAWI
Lebih jauh, simak
penjelasan Imam Nawawi (penulis Syarah Hadits Shohih Muslim) dalam kitab
Muhadzdzab juz I hal. 109
وَإِنِ
اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا
الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ
عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا
النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ
أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ
(قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ
الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ
مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ
الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ
مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. اهـ
“Apabila hari raya
betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk yang berdomisili di tempat yang
jauh dari tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh
kembali ke domisilinya, dan (diberi keringanan untuk) tidak mengikuti jum’atan.
Diriwayatkan dari
sayyidina Utsman ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini
terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh
dari tempat shalat id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang
siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap kata sayyidina
Utsman ini tidak ada satupun sahabat yang mengingkarinya.
3. PENJELASAN IMAM
AL-RUYANI
Berkata al-Ruyani :
“Apabila berhimpun hari raya dan jum’at, maka tidak dapat mengugurkan fardhu Jum’at dari penduduk balad.”
Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.
“Apabila berhimpun hari raya dan jum’at, maka tidak dapat mengugurkan fardhu Jum’at dari penduduk balad.”
Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja.
Ayat tersebut berbunyi :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)
Alasan lain adalah shalat
Jum’at merupakan sebuah kewajiban agama. Suatu kewajiban agama tidak boleh
ditinggalkan hanya karena suatu amalan sunnah, yaitu shalat hari raya. Kedua
alasan ini telah disebut al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab.
KESIMPULAN :
1. Bagi takmir Masjid,
tetap WAJIB menyelenggarakan Sholat Jumat
2. Bagi yang mendapatkan
keringanan tidak melaksanakan sholat jumat, maka tetap wajib baginya untuk
melaksanakan sholat Dzuhur.
3. Keringanan untuk tidak
melaksanakan sholat Jumat itu diberikan HANYA KEPADA orang yang berdomisili di
sebuah tempat yang ditempat tersebut tidak diselenggarakan sholat Jumat
(penduduk pedalaman) sehingga ia harus kekota untuk melaksanakan sholat Jumat.
Dan keringanan tersebut dapat diambil hanya jika apabila ia datang ke kota
untuk melaksanakan Sholat Id, kemudian ia kembali ke domisilinya dan
diperkirakan ia akan terlambat apabila kembali lagi ke kota untuk melaksanakan
sholat Jumat karena terlalu jauhnya tempat domisilinya dengan Masjid dikota
yang menyelenggarakan Jum'atan.
4. Melihat kondisi
sekarang, terutama masyarakat di tempat yang sudah banyak daerah yang didalamnya
terdapat masjid yang mendirikan sholat Jumat, maka KERINGANAN untuk tidak
sholat jumat tersebut TIDAK BERLAKU, sehingga TETAP WAJIB untuk melaksanakan
sholat Jum'at.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar